Mungkin alam telah berubah dan
iklim telah bergeser, hingga kita telah jarang menjumpai sesuatu seperti dulu
waktu kita masih usia kanak kanak. Iklim panas dan hujan telah tak dapat
diprediksi seperti waktu kita kecil.
Seolah alam tak lagi bersahabat. Jika
panas, sangat terik, dan jika hujan, banjir dan longsor dimana mana. Kita patut
menghubungkan dengan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, dimana
hutan telah dibabat habis, illegal loging dimana mana, hutan jati hanya tinggal
di tepian saja, dan bila kita masuk ke dalam hutan, terlihat hamparan tonggak
tonggak pohon yang di tebang dengan tanpa memikirkan akibat yang terjadi di
kemudian hari.
Dan seperti sekarang inilah yang
terjadi, dimana hutan dan pohon telah semakin habis, hingga air hujan dapat
dengan bebas lepas mengalir tanpa penahan dan liar, dan dalam sekejap air bah
telah musnah entah kemana. Dan ketika kemarau dating, panas terik dan air yang
didambakan tak dapat tertahan oleh akar akar pohon, karena pohon pohon telah
dibabat habis, dengan tanpa gerakan penanaman kembali yang cukup berarti.
Lihatlah hutan di salah satu
pulau kita, Kalimantan. Kini telah menyusut hingga lebih dari 50%, dan
bayangkan berapa lama kita dapat menumbuhkan pohon pohon besar seperti yang di
tebang sebagai penggantinya? Perlu kesadaran dari beberapa generasi untuk mewujudkannya, hingga
alam menjadi seimbang lagi seperti dulu.
Lahan pertanian yang semakin
terkikis oleh gedung gedung, dalam perkembangannya cukup memprihatinkan. Ada beberapa
kawasan hijau, dimana di kawasan tersebut tidak diperkenankan untuk dibangun
gedung dengan mengorbankan lahan sawah dan pertanian. Namun, siapa yang kuasa
menolak uang? Saat birokrasi dan kekuasaan ikut menjamahnya, maka rakyat
jelatapun tak dapat berbuat apa apa. Bila ulah manusia seperti ini terus,
wajarlah kiranya bila alam murka, hingga air yang datangpun adalah air bah, dan
panas mataharipun menjadi sangat terik menyengat tubuh. Dan hal ini tak akan
berhenti dengan sendirinya, kecuali kita, manusia, segera bergerak dan berbenah
diri untuk keseimbangan alam yang telah tercabik cabik oleh jaman.
Semakin jarang kita temukan suara
kodok yang bernyanyi menjelang sore hari, dan menyambut hujan. Sewaktu kita
kecil, hal itu sangat mudah kita temukan. Dimana setiap senja, di tengah sawah
yang membentang,suara kodok bernyanyi bersaut sautan memanggil hujan. Dan sekarang????
Salah siapa? Salah kita sendiri. Alam
hanya berlaku sesuai dengan perilaku kita. Dimana kita dapat jaga keseimbangan
alam, maka sang kodok pun akan tetap bernyanyi memanggil hujan, dan kemudian
semakin merdu nyanyiannya tatkala hujan telah turun dan mereka berpesat
dibawahnya.
“Dulu, waktu aku masih kecil
seusiamu, sering bermain di sawah hingga larut, dan disana sini terdengar kodok
bersaut sautan. Asik banget.” Kataku saat aku antar keponakanku pulang menjelang senja, dengan melewati persawahan
yang sunyi dan gerimis menemani perjalanan kami.
“Tuhan tak mau mendengar doa
kita, Dia lebih mendengar doa kodok…..”kata ponakanku suatu ketika.
“Kok gitu?” aku terperanjat.
“Iya, kodok itu kan kalau berdoa
minta hujan, langsung di kasih sama Tuhan….” Katanya lagi.
“Masak sic? Memangnya kalau kita,
gak dikasih ya?” tanyaku kemudian.
“Enggak. Kodok itu kan kalau
berdoa minta hujan, bunyinya “kung..kong…kung…kong” gitu, terus langsung
dikasih hujan sama Tuhan…..” katanya menerangkan kepadaku.
“Yang bener? Emang kamu udah
pernah coba?” tanyaku mulai geli.
“Udaaahhh, sama teman teman. Waktu
itu kita di sawah, dan aku dan teman teman mulai bernyanyi kaya kodok gitu, “kung…kong…kung….kong”,
tapi hujannya tetap gak mau turun” katanya
polos.
Ooooalahhhh………Nduuuukkkk………
No comments:
Post a Comment