Matanya terbelalak, mulutnya
menganga, namun tak sepatah katapun keluar dengan jelas dan bermakna. Beberapa
lama tak percaya akan apa yang dilihatnya, yang terttulis dalam sebuah kitab
yang selalu terbuka di meja kerjanya.
Sebuah ruangan tak terlalu besar,
dengan dinding terbuat dari batu batu yang tertata rapi, dengan beberapa lilin
besar di sudut sudut ruang, dan sebuah lampu minyak yang cukup besar berada di
meja, tepat di sebelah kitab yang selalu dibacanya.
Beberapa tahun telah dia alami
sebuah peristiwa yang mengguncangakn iman dan keyakinannya. Ilmu pengetahuan
yang dikuasainya, tak mampu membendung keraguannya. Saat hatinya menemukan
keyakinan, saat itu pula akal dan logikanya menolak. Dan seperti itu berulang
ulang, hingga tak satupun titik yang dapat diraih. Bermula dari seorang pemuda
yang datang dan mengombang ambingkan keyakinan yang telah selama ini dia
pegang, hingga dia merasa bahwa dia hampir menjadi gila, karena telah sekian
lama tak mampu pula menemukan pegangan keyakinan seperti semula. Sampai sebuah
kalimat tertera di halaman kitabnya, tentang kedatangan seseorang.
“Jika ini adalah benar,
selamatlah aku….selamatlah aku…….” Katanya berulang ulang meyakinkan dirinya,
sambil berjalan kesana kemari.
Bertahun tahun kemudian, setelah
dia berusaha mendalami apa yang telah diabacanya, dia berusaha mencari tahu
dengan cara meditasi, dan mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Hingga suatu saat, terdengar suara
dari dalam dirinya yang berkata “Selesailah sudah!”
Sontak terbangun dari
meditasinya, dan berusaha kembali menata hati dan pikirannya. Namun begitu
semua terpusat dalam sebuah titik untuk mendapatkan jawaban itu, suara itu kembali bergema dalam
sanubarinya, “Selesailah sudah!”
Buhairah, sebagai seorang
pendeta, guru dan cendekia, dia sangat dihormati oleh murid muridnya yang
tinggal di dalam gedung yang sama. Maka, begitu bangun di pagi hari, dia
memerintahkan murid muridnya untuk berbelanja ke pasar, karena malam nanti akan
mengadakan jamuan makan. Setelah semua siap, dan malam menjelang, dia keluar
untuk berjalan jalan menuju pasar.
Dalam perjalanan itu, dia bertemu
dengaon rombongan pedagang dari negeri seberang. Nampak seorang yang tinggi
besar, duduk di atas kuda paling depan. Rupanya
inilah pemimpin rombongan. Lalu disapanya pemimpin rombongan itu.
“Dari mana suku kalian?” Tanya Buhairah
ramah.
“Kami dari Suku Quraisy” jawab
pemimpin itu tak kalah ramahnya.
“Datanglah ke rumahku, telah ku
siapkan hidangan jamuan makan untuk kalian. Ajak serta seluruh anggota
rombonganmu, baik dewasa maupun anak anak…” kata Buhairah.
“Demi Latta, ada apa dengan anda?
Anda tak mengenal kami, demikian pula kami. Kami belum pernah bertemu dengan
anda sebelumnya…” kata pemimpin itu dengan heran.
“Benar, tapi anda dan seluruh
rombongan, akan menjadi tamu istimewa bagiku mala mini, datanglah ke rumahku…” Buhairah
agak memaksa.
Pemimpin itu, yang bernama Abu
Thalib, tak dapat menolak. Maka setelah malam tiba, datanglah dia bersama
dengan seluruh rombongan ke rumah pendeta cendekia itu untuk makan malam,
bersama sama dengan murid murid sang pendeta. Alangkah indahnya bias duduk
bersama dalam satu meja.
Buhairah sangat ramah, dan
bercerita tentang banyak hal, sambil mengamati satu satu dari tamunya, untuk
sekedar melihat dan meyakinkan apakah benar ramalan yang tertera di kitabnya
itu. Namun telah sekian lama, dari satu persatu tamu yang di amatinya, tak
satupun yang menunjukkan cirri seperti yang diceritakan dalam kitab ramalan
yang di tekuni.
“Apakah semua anggota rombongan
telah hadir disini?” Tanya Buhairah kemudian.
“Demi Latta, ada satu orang yang
kami tinggalkan, untuk menjaga barang barang kami. Dia masih anak anak…” jawab
salah seorang rombongan.
“Dimana dia sekarang, biarlah aku
jemput sendiri,” kata Buhairah dengan tergesa gesa sambil bangkit dari
duduknya.
Abu Thalib menunjukkannya, dan
seketika itu pula, Buhairah pergi meninggalkan jamuan makan, dan menyilakan
tamu tamunya untuk meneruskannya, dengan ditemani oleh murid muridnya.
Tak lama berjalan menuju tempat
rombongan itu beristirahat, Buhairah menemukan seorang bocah tengah duduk
dibawah pohon besar menjaga barang barang dari rombongan. Diamatinya anak itu
dengan seksama, dan seketika tentramlah hatinya, karena cirri cirri yang dia
cari, terdapat pada anak itu.
Dengan lemah lembut, dia berbisik lirih kepada
dirinya sendiri, “semula aku tak yakin sampai aku sendiri menemuimu sendiri….”
Anak itu diam dengan tenang.
“Demi Latta dan Uzza, jawablah
pertanyaanku…” katanya dengan tergesa gesa.
“Jangan menyumpah dengan nama
Latta dan Uzza, mereka adalah bencana yang menodai bibirmu…” kata anak itu.
“Kalau begitu, demi Tuhan, maukah
kau jawab pertanyaanku?” tanyanya kemudian.
“Bertanyalah sesukamu…”jawab anak
itu tenang.
Buahirah menanyakan tentang nama
dan keluarganya, namun dipotong olah anak ini.
“Bukan ini pertanyaan yang
sebenarnya ingin anda ajukan…” kata anak itu pendek.
“Kalau begitu, tunjukkanlah
punggungmu sebentar saja!” Buhairah semakin penasaran.
Anak itu membalikkan tubuhnya, membuka
bajunya, dan seketika itu juga Buhairah melihat tanda kenabian di antara kedua
bahu anak itu, persisi seperti yang tertulis dalam kitab ramalan Buhairah. Mengetahui
hal itu, semakin terperangahlah Buhairah. Tubuhnya kaku, lidahnya kelu, tak
satupun suara dapat keluar dari mulutnya.
Pandangan matanya gelap dan air mata bercucuran, sebuah tangis meledak dari
mukanya, antara rasa syukur dan bahagia.
Di antara kedua bahu anak itu tertlusi “TIADA TUHAN SELAIN ALLAH”.
Kemudian anak itu berbalik lagi,
dan di dada anak itu, Buhairah melhat sebuah “nama yang tak terkatakan”
berwarna merah tua. Ketika nama itu dibukakan padanya, seolah dunia tak sanggup
menanggung beratnya, dan bintang bintang berpencaran tak tentu arah. Bumi dan
langit ikut menjadi saksinya.
“Tuanku,” berkata Buhairah,”
telah kunanti bertahun tahun sebelumnya, hati telah menjadi abu, sampai
akhirnya aku menemukanmu, yang mampu menjawab pertanyaanku….”
“Ajukan pertanyaanmu…” kata anak
itu.
“Yang Mulia, aku tak mampu memahami keesaan Tuhan. Telah kusaksikan
kebaikan dan kejahatan di muka bumi ini, dan percaya bahwa Dia bukanlah sumber
kejahatan. Namun bila Dia tak berkuasa atas kejahatan, maka Dia tak pantas
disebut Tuhan, padahal kutahu pula bahwa Dia Maha Kuasa. Jika dunia ini jahat
adanya, tidakkah berarti Tuhan juga demikian? Jika dunia ini bukan ciptanNya,
lalu dimanakah letak kekuatanNya?” Tanya Buhairah bagai air bah.
“Ketahuilah bahwa keesaan Tuhan
itu tersembunyi dari menara logikamu. Singkirkan keragunamu. Pengetahuan tentang
keesaan Tuhan sungguh berbahaya, dan yang mencari mudah sesat. Engkau tak
mungkin sanggup menangghung beratnya pengetahuan yang kau inginkan. Tak cukupkah
bagimu dengan nikmat keimanan dan kepercayaanmu pada Allah? Hanya dengan
itupun, Dia akan selalu mencukupimu.”
“Engkau tak mungkin bisa meraba
ujungnya, yang merupakan tujuan akhir dari semua ini. Mestikah orang yang rabun
menilai bagaimana rupa puncak gunung? Cobalah untuk menahan diri dari logika
dan penilain pribadi dalam hal ini.”
Maha Benar Allah Atas Segala
FirmanNya.
No comments:
Post a Comment