Tuturnya begitu cepat bagai air
bah meluap luap, namun tanpa intonasi yang jelas. Cara bicaranya hampir seperti
diseret seret dengan suara yang agaka parau dan sengau. Dari sekian banyak
saudaranya, dialah satu satunya orang yang mempunyai cirri khas seperti itu.
Gaya bicaranya sangat cepat, terlalu cepat bahkan, hal ini mungkin karena apa
yang disampaikannya berusaha mengimbangi
dengan apa yang ada di pikirannya.
Laki laki ini memang terkenal
banyak cerita, walau kadang ceritanya itu terlalu melebih-lebihkan kemampuan
dirinya, yang pada akhirnya menjadi kebohongan kebohongan semata. Namun hal
seperti itu sudah menjadi permakluman bagi yang mendengarkan cerita ceritanya,
walau tak semuanya dapat menerima kelakuannya.
Namun dibalik kelakuannya itu,
dari sikap dan cara perlakuan terhadap orang lain, laki laki ini cenderung
lebih polos dan lugu, tanpa prasangka dan menyadari bahawa lingkungan
sekitarnya adalah merupakan saudara, yang harus saling bertegur sapa dan
berbagi cerita.
Seperti suatu pagi, saat waktu telah
selesai makan pagi, berkumpul lima orang ksatria mengelilingi meja makan,
disebuah ruangan yang memang disediakan untuk mereka. Ruang makan yang
menghadap pad ataman yang asri, dengan pemandangan pegunungan yang hijau nun
jauh disana, dengan sinar matahari yang telah mulai hangat merangkah naik, merambat
menerangi setiap lekuk sudut ruangan.
Laki laki itu datang dengan tanpa
basa basi dan kemudian duduk bergabung dengan kelima ksatria itu. Cara
berjalannya dengan seenaknya, terlihat tanpa jarak antara dia dengan kelima
ksatria tersebut.
“Kkkaaakkkangggg…..pa`da
ngapain…..” bicaranya cedal, dan tak begitu jelas, saat dia duduk di salah satu
kursi yang masih kosong. Seketika dengan duduknya laki laki itu, seorang
ksatria yang bertubuh tinggi besar, berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
“Lhhooo….lho….
Kkkaakkang….ma`u kema`na….?” tanyanya.
Yang ditanyapun tak menjawab sama
sekali, hanya diam dan meninggalkan tempat itu, sedangkan keempat ksatria
lainnya masih duduk di kursi seperti semula.
“Kok pa`da diemmmmm…….?” Dia
bertanya lagi sambil pandangan matanya menebar ke arah empat ksatria yang masih
diam.
“Ba`iklah…… dengelin ya
Kaa`kang, a`ku pu`nya celita……” katanya penuh semangat dan berapi api.
Dan seperti yang telah diduga
sebelumnya, laki laki itu bercerita tentang kesaktiannya, bertarung mewlawan
beberapa orang dan semua musuh dapat dikalahkannya dengan mudah. Tentu saja
dengan kesaktiannya. Cerita panjang yang diutarakan dengan bahsa yang cedal dan
tak begitu jelas, membuat empat ksatria itu lelah mendengarkannya.
Karena tak tahan denganceritanya,
satu lagi ksatria tampan itu berdiri, dan lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Kini tinggal laki laki itu, dan masih ada tiga ksatria lagi yang masih duduk
mendengarkan cerita yang masih juga belum usai.
“Weee…..ka`kang Pelmadi dan
Blatasena a`pa ga lugi ga denge`lin celitaku?” berhenti bertanya seperti itu,
kemudian dia ambil meinuman dalam gelas milik salah seorang ksatria, dan
langsung menenggaknya hingga habis. Ketiga ksatria itu hanya saling pandang
melihat tingkah laki laki seusia mereka itu. Seperti itulah kelakukan laki laki
itu, yang tanpa basa basi, terbuka dan polos, tanpa malu malu dan rasa sungkan.
Hampir tengah hari, laki laki itu masih juga
bercerita, bahkan dengan gerakan gerakan tertentu untuk meperagakannya, bahkan
dengan teriak teriak dan memukul mukul meka makan, dan kadang pula kemudian
tertawa terbahak bahak. Sedangkan tiga ksatria itu masih tetap diam
mendengarkan ceritanya, sambil sesekali sandaran di kursi, namun mereka sama
sekali tak meninggalkan laki laki itu.
Belum juga selesai ceritanya,
mendadak di ujung pintu, terlihat seorang tua dengan tubuh jangkung, hidung
mancung, kumis tipis dan sedikit agak bungkuk, melambaikan tangannya memanggil
laki laki itu. Dengan melambaikan tangannya. Beberapa kali dilakukannya namun
laki laki itu masih juga bersemangan itu meneruskan ceritanya.
Setelah kesekian kali orang tua
jangkung itu melambaikan tangannya, rupanya laki laki itu merasa risih juga,
maka dengan setengah berteriak, dia bertanya ;
“A`da apa Pa`man Se`ngku`ni…….?”
Serunya. Ketiga ksatria itupun ikut menoleh ke arah orang tua tersebut. Yang ditanya tetap melambaikan tangannya,
menyuruhnya datang.
“Oohhh….paman edan……” kata laki laki itu sambil berlari
menghampiri.
“Kamu ngapain disana Durmagati?
Jangan dekat dekat dengan mereka !” Sengkuni menghardik laki laki yang
dipanggilnya dengan nama Durmagati itu.
“Me`leka semua kan sa`udala saya
Paman……” jawab Durmagati. “Me`leka juga olang baik baik se`mua kok……” lanjut
Durmagati.
“Dikasih tahu orang tua kok
bandel. Sana pulang! Kembali ke tempatmu!” perintah Sengkuni.
Durmagati lalu ngeloyor pergi
sambil mengomel ngomel sepuas puasnya. Dia tak habis pikir, apanya yang salah
dengan berkumpul dan bercengkerama dengan saudara, walaupun berbeda orang tua.
Setelah Durmagati dan Sengkuni
pergi, tinggal tiga orang ksatria itu yang masih duduk dan saling berpandangan
satu sama lain.
Salah seorang ksatria, yang nampak sedikit lebih matang dibanding kedua ksatrria lainnya, berkata ;
“Kasihan Durmagati………” katanya
lirih.
“Kenapa kasihan dengan dia Kakang
Samiaji?” kedua ksatria itu bertanya hampir bersamaan. Samijai menghela nafas
panjang.
“Adik adiku Nakula dan Sadewa……,
dengan segaal keterbatasan bicaranya, dia selalu bersemangat, sayang tak ada
satupun yang mau mendegarnya, bahkan saudara saudara dia sendiri, orang orang
Kurawa.”
“Bukankah yang dikatakan itu
bohong semua?” kata Nakula.
“Ya, semua orang tahu, Durmagati
hanya pandai membual…” Sadewa menimpali.
“Adik adikku..”kata Samiaji
dengan tatapan mata tajam ke arah Nakula dan Sadewa, “jika kita mau mendengar,
bahkan dari seorang pembohongpun, kita bisa belajar sesuatu. Ada sesuatu yang
dapat kita ambil dari cerita ceriat dan apa yang dikatakannya…….” Samiaji berdiri
dan melangkah masuk ke dalam isatan.
Kata kata biijak yang pernah
dinasehatkan kepadanya ketika kecil, oleh ayahnya, Pandu Dewanata.
No comments:
Post a Comment