Tuesday, April 17, 2012

DURMAGATI, "MELEKA SEMUA SAUDALA SAYA ..."

Tuturnya begitu cepat bagai air bah meluap luap, namun tanpa intonasi yang jelas. Cara bicaranya hampir seperti diseret seret dengan suara yang agaka parau dan sengau. Dari sekian banyak saudaranya, dialah satu satunya orang yang mempunyai cirri khas seperti itu. Gaya bicaranya sangat cepat, terlalu cepat bahkan, hal ini mungkin karena apa yang disampaikannya berusaha mengimbangi  dengan apa yang ada di pikirannya.

Laki laki ini memang terkenal banyak cerita, walau kadang ceritanya itu terlalu melebih-lebihkan kemampuan dirinya, yang pada akhirnya menjadi kebohongan kebohongan semata. Namun hal seperti itu sudah menjadi permakluman bagi yang mendengarkan cerita ceritanya, walau tak semuanya dapat menerima kelakuannya.
Namun dibalik kelakuannya itu, dari sikap dan cara perlakuan terhadap orang lain, laki laki ini cenderung lebih polos dan lugu, tanpa prasangka dan menyadari bahawa lingkungan sekitarnya adalah merupakan saudara, yang harus saling bertegur sapa dan berbagi cerita.

Seperti suatu pagi, saat waktu telah selesai makan pagi, berkumpul lima orang ksatria mengelilingi meja makan, disebuah ruangan yang memang disediakan untuk mereka. Ruang makan yang menghadap pad ataman yang asri, dengan pemandangan pegunungan yang hijau nun jauh disana, dengan sinar matahari yang telah mulai hangat merangkah naik, merambat menerangi setiap lekuk  sudut ruangan.

Laki laki itu datang dengan tanpa basa basi dan kemudian duduk bergabung dengan kelima ksatria itu. Cara berjalannya dengan seenaknya, terlihat tanpa jarak antara dia dengan kelima ksatria tersebut. 

“Kkkaaakkkangggg…..pa`da ngapain…..” bicaranya cedal, dan tak begitu jelas, saat dia duduk di salah satu kursi yang masih kosong. Seketika dengan duduknya laki laki itu, seorang ksatria yang bertubuh tinggi besar, berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
“Lhhooo….lho…. Kkkaakkang….ma`u  kema`na….?” tanyanya.
Yang ditanyapun tak menjawab sama sekali, hanya diam dan meninggalkan tempat itu, sedangkan keempat ksatria lainnya masih duduk di kursi seperti semula.
“Kok pa`da diemmmmm…….?” Dia bertanya lagi sambil pandangan matanya menebar ke arah empat ksatria yang masih diam.
“Ba`iklah…… dengelin ya Kaa`kang, a`ku pu`nya celita……” katanya penuh semangat dan berapi api.

Dan seperti yang telah diduga sebelumnya, laki laki itu bercerita tentang kesaktiannya, bertarung mewlawan beberapa orang dan semua musuh dapat dikalahkannya dengan mudah. Tentu saja dengan kesaktiannya. Cerita panjang yang diutarakan dengan bahsa yang cedal dan tak begitu jelas, membuat empat ksatria itu lelah mendengarkannya.

Karena tak tahan denganceritanya, satu lagi ksatria tampan itu berdiri, dan lalu meninggalkan ruangan tersebut. Kini tinggal laki laki itu, dan masih ada tiga ksatria lagi yang masih duduk mendengarkan cerita yang masih juga belum usai.

“Weee…..ka`kang Pelmadi dan Blatasena a`pa ga lugi ga denge`lin celitaku?” berhenti bertanya seperti itu, kemudian dia ambil meinuman dalam gelas milik salah seorang ksatria, dan langsung menenggaknya hingga habis. Ketiga ksatria itu hanya saling pandang melihat tingkah laki laki seusia mereka itu. Seperti itulah kelakukan laki laki itu, yang tanpa basa basi, terbuka dan polos, tanpa malu malu dan rasa sungkan.

Hampir  tengah hari, laki laki itu masih juga bercerita, bahkan dengan gerakan gerakan tertentu untuk meperagakannya, bahkan dengan teriak teriak dan memukul mukul meka makan, dan kadang pula kemudian tertawa terbahak bahak. Sedangkan tiga ksatria itu masih tetap diam mendengarkan ceritanya, sambil sesekali sandaran di kursi, namun mereka sama sekali tak meninggalkan laki laki itu.

Belum juga selesai ceritanya, mendadak di ujung pintu, terlihat seorang tua dengan tubuh jangkung, hidung mancung, kumis tipis dan sedikit agak bungkuk, melambaikan tangannya memanggil laki laki itu. Dengan melambaikan tangannya. Beberapa kali dilakukannya namun laki laki itu masih juga bersemangan itu meneruskan ceritanya.

Setelah kesekian kali orang tua jangkung itu melambaikan tangannya, rupanya laki laki itu merasa risih juga, maka dengan setengah berteriak, dia bertanya ;
“A`da apa Pa`man Se`ngku`ni…….?” Serunya. Ketiga ksatria itupun ikut menoleh ke arah orang tua tersebut.  Yang ditanya tetap melambaikan tangannya, menyuruhnya datang.
“Oohhh….paman edan……”  kata laki laki itu sambil berlari menghampiri.
“Kamu ngapain disana Durmagati? Jangan dekat dekat dengan mereka !” Sengkuni menghardik laki laki yang dipanggilnya dengan nama Durmagati itu.
“Me`leka semua kan sa`udala saya Paman……” jawab Durmagati. “Me`leka juga olang baik baik se`mua kok……” lanjut Durmagati.
“Dikasih tahu orang tua kok bandel. Sana pulang! Kembali ke tempatmu!” perintah Sengkuni.

Durmagati lalu ngeloyor pergi sambil mengomel ngomel sepuas puasnya. Dia tak habis pikir, apanya yang salah dengan berkumpul dan bercengkerama dengan saudara, walaupun berbeda orang tua.
Setelah Durmagati dan Sengkuni pergi, tinggal tiga orang ksatria itu yang masih duduk dan saling berpandangan satu sama lain.

Salah seorang ksatria, yang nampak sedikit lebih matang dibanding kedua ksatrria lainnya, berkata ;
“Kasihan Durmagati………” katanya lirih.
“Kenapa kasihan dengan dia Kakang Samiaji?” kedua ksatria itu bertanya hampir bersamaan. Samijai menghela nafas panjang.
“Adik adiku Nakula dan Sadewa……, dengan segaal keterbatasan bicaranya, dia selalu bersemangat, sayang tak ada satupun yang mau mendegarnya, bahkan saudara saudara dia sendiri, orang orang Kurawa.”
“Bukankah yang dikatakan itu bohong semua?” kata Nakula.
“Ya, semua orang tahu, Durmagati hanya pandai membual…” Sadewa  menimpali.
“Adik adikku..”kata Samiaji dengan tatapan mata tajam ke arah Nakula dan Sadewa, “jika kita mau mendengar, bahkan dari seorang pembohongpun, kita bisa belajar sesuatu. Ada sesuatu yang dapat kita ambil dari cerita ceriat dan apa yang dikatakannya…….” Samiaji berdiri dan melangkah masuk ke dalam isatan. 

Kata kata biijak yang pernah dinasehatkan kepadanya ketika kecil, oleh ayahnya, Pandu Dewanata.

No comments:

Post a Comment