Pagi yang cukup cerah, namun tak
secerah pikiranku. Sudah agak lama pikiranku berkutat pada hal hal yang mungkin
buat orang lain tak ada gunanya, tak tak ada sangkut pautnya dengan apa yang
terjadi pada negeri kita ini, terutama tentang kemasyarakatan, budaya,
kepercayaan dan keyakinan.
Ada banyak hal yang mengganggu
pikiran, terutama tentang bergesernay nilai nilai yang hidup dalam tata
pergaulan baik antara manusia dengan Tuhan, maupun sesame manusia. Teringat aku
akan sesorang yang mungkin dapat memberikan sekedar pencerahan, atau mungkin
akan menjadika aku orang yang paling bodoh di dunia. Tanpa pikir panjang, ku
raih telepon genggamku, dan ku telpon seseorang di seberang sana. Alhamdulillah,
dengan serta merta, langsung tersambung, dan saat itu pula aku disuruh datang
kerumahnya.
Selang tak lebih dari 30 menit,
aku telah sampai rumahnya. Rumah yang terletak di pusat kota lama Yogyakarta,
dengan halaman yang terkesan “dibiarkan” dengan tumbuh tumbuhan yang cukup
lebat, layaknya kebun kebun di tengah desa. Di sudut kebun Nampak kolam kecil
dengan tumbuhan air yang cukup rapat pula, dan air kolam yang bening, membuat
suasana walaupun di tengah kota, terasa lebih sejuk.
Seseorang berdiri di beranda,
hanya dengan kaos sederhana dan sarung yang masih dikenakannya, dan kacamata
yang lumayan tebal masih menempel di batang hidungnya. Dengan sapa yang hangat
dan ramah, mempersilakan aku tuk duduk dan tanpa basa basi lagi, kami langsung
ke inti permasalahan.
Semua berawal dari sebuah kitab
kuno, milik bangsa ini, yang mungkin bagi banyak orang tak begitu menarik,
namun bagi kami berdua, sangat menarik. Dan kami berdua, berpegang pada dua
buah kitab kuno yang berbeda. Dari sinilah debat argumentasi kami mulai.
Ada sebuah rasa sesal tentang apa
yang aku alami saat membaca tentang kitab yang berisi tentang Serat Sabdo Palon
Naya Genggong/ Babad Tanah Jawa. Yang sangat menarik perhatianku adalah jejak
perjalanan Sunan Bonang (yang kemudian mereprensentasikan sebuah
aliran/keyakinan/kebudayaan tertentu) menuju Kediri, dimana dalam kisah
perjalanan itu melewati rintangan, bukan rintangan menurutku, karena rintangan
rintangan itu di buat sendiri, sehingga bertemulah Sunan Bonang dengan seorang
raja dari dunia alam lain di tanah Jawa ini yang bernama Buta Locaya (yang
kemudian mereprensentasikan sebuah aliran/keyakinan/kebudayaan Jawa) .
Dalam perjalanan itu, Sunan
Bonang memindahkan aliran Sungai Brantas, menyumaphi sebuah daerah hingga
menjadi kering, susah dalam mendapatkan air, dan perjaka maupun perawan desa
itu akan kesulitan dalam hal perjodohan, lantas mengahncur patung patung peninggalan sejarah dari
kerajaan kerajaan dahulu. Sebenarnya apa hak dari, walaupun seorang sunan pun,
untuk menyumpah terhadap sesuatu, hingga hanya menimbulkan kesusahan semata,
hanya karena perasaan “tidak terima” telah mendapat perlakuan yang dinilai
tidak mengenakkan?
Hal inilah yang membuat Buta
Locaya tidak terima dan murka. Namun walau sifatnya seorang buta
(buto/raksasa), namun dia adalah raja, maka sikapnya pun lebih bersahaja
dbandingkan dengan Sunan Bonang. Maka terjadilah adu argumentasi dengan Sunan
Bonang.
Sunan Bonang setelah mendengar
nasehat dari Buta Locaya, menyadari kesalahannya karena telah menyebabkan
kesengsaraan banyak orang, maka berkatalah “Buta Locaya, saya ini seorang
Sunan, tak dapat menarik ucapanku yang sudah keluar. Besok jika telah genap
limaratus tahun, maka sungai ini (Sungai Brantas) akan kembali seperti semula”
Nyata nampak didepanku, bahwa apa
yang aku temukan dalam kitab itu menunjukkan betapa Buta Locaya, walaupun dia
adalah seorang raksasa, namun dengan ilmu tanah Jawa yang dilakukan dan
diamalkannya itu, mendapat pengakuan dari Sunan Bonang atas kebenarannya.
Beliau, tuan rumah, kemudian
hanya manggut manggut, dan kemudian bercerita tentang kitab kuno yang beliau
pegang, Gatholoco. Nama yang cukup familiar di telingaku walaupun aku sama
sekali belum pernah mengetahuinya. Timbul penasaranku untuk mengetahui sekilas
tentang kitab Gatholoco itu.
Dari beliau, sang tuan rumah,
mengatakan bahwa inti dari Gatholoco adalah sama dengan Sabdo Palon, yang
berisi tentang perdebatan antara seeorang yang merepresentasikan sebuah
aliran/kepercayaan/kebudayaan tertentu, dengan seorang yang merepresentasikan
sebuah kultur Jawa. Dan hasil akhir dari kesimpulannya adalah sama dengan Sabdo
Palon, yaitu dimana keutamaan dari tanah Jawa adalah lebih utama.
“Namun bagaimanapun Mas, kitab
kitab itu kan berasal dari bahasa tutur, yang kemudian ditulis. Nah permasalahannya
adalah, tulisan tulisan yang kit abaca ini kan tergantung penulisnya dulu waktu
menuliskannya bagaimana. Sebab, kitab kitab seperti ini kan membahas tentang
sebuah peristiwa yang ada pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jadi,
benar salahnya, tak seorang pun yang tahu, hanya bias yakin dan tidak, dan
itupun tak dapat dibuktikan.”
“Terus gimana Om?” tanyaku pendek
“Menurut saya, yang berpeganglah
pada sebuah kitab yang bukan dibuat oleh manusia, tapi berasal dari Tuhan. Itu yang
mutlak benar, dan dapat dipertanggungjawabkan….”
Hmmmm…….makin ruwet…….