Wiwit. Sebuah acara di desa yang
telah lama sekali tak kutemukan. Mendadak saat ku berjalan di sore hari, ku
lihat beberapa orang tengah berjalan di pematang sawah, ibu ibu setengah baya,
dengan menggendong sebuah bawaan di punggungnya, dengan diikat kain selendang
di tubuhnya, dan beberapa anak kecil mengikuti di belakangnya. Serta merta ku
berhenti dan mengikutinya. Sebuah kerinduan yang tak dapat ku cegah. Ku ambil
sepotong daun pisang basah, untuk kejadikan “pincuk” untuk tempat nasi, sambel
gepeng, ikan asin, telur rebus yang di potong kecil kecil, urap dan jajanan
pasar lainnya. Lalu ku duduk berjajar dengan barisan anak anak kecil menanti
jatah pembagian makanan dari si ibu ibu itu. Hmmmmm……….. pikiranku melayang.
Indonesia adalah Negara agraris,
dimana pertanian dan perkebunan mempunyai peran yang sangat vital, untuk
kemakmuran rakyat. Lahan pertanian dan perkebunan yang cukup luas, sangat
menarik Negara lain untuk ikut serta menikmatinya. Baik dengan cara yang benar
maupun yang illegal. pertanian yang sangat luas, dapat member cukup makan bagi
rakyatnya, dulu. Patut berbangga pada waktu itu dimana Indonesia bahkan mampu
untuk export beras ke negara negara tetangga. Sekarang????
Sebuah proses yang dinilai gagal,
dimana dari negara agraris, menuju negara industry. Satu sisi berhasil, dan
sisi lain, gagal. Lihatlah semua kemajuan yang tercipta dengan pembangunan
fisik baik perumahan, industry, yang semuanya memakan lahan yang menurut “blue
print” tata kota, seharusnya lahan itu tetap pada fungsinya sebagai lahan
pertanian sebagai lumbung padi untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat.
Dan pertanian subur pun kian lama
semakin sempit, ditancap oleh cakar ayam dan beton beton raksasa. Sasrabahu
mengamuk, menancapkan kuku kuku panjangnya menembus perut Sang Dewi Sri. Dimana
mana, di hampir seluruh wilayah dari negeri kita. Dewi Sri menangis, Dewi sri
meratap, denan air mata yang telah hampir kering, hanya bias berharap akan
sebuah “sadar” dari “sasrabahu” yang
entah sampai kapan akan terus menancapkan kukunya, dan menunggu hadirnya sebuah
sadar bahwa Dewi Sri telah teraniaya sepanjang masa. Hampir tak guna pengorbanan yang dia lakukan
untuk manusia, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, pangan!
Sebuah perjalanan panjang yang
penuh dengan pengabdian, dan mengesampingkan “ingin”nya sendiri. Saat Batara
Guru, sang penguasa kerajaan dewa
memerintahkan segenap dewa dewi untuk untuk bekerja kera membangun
istana baru, dan siapapun yang tidak patuh pada perintahnya, akan dihukum,
potong kaki dan tangannya.
Mendengar kabar itu, Antaboga,
kakek dari Antareja, dewa ular yang bermukim di dasar bumi, cemas dan sedih,
karena belia tak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja membantu membangun
istana baru itu. Dalam sedihnya, beliau bersemedi dan memohon petunjuk pada
dewa, dan hadirlah Batara Narada, saudara dari Batara Guru yang terkenal arif.
Namun dalam hal seperti itu, Batara Narada tak dapat memberinya bantuan seperti
yang diharapkan.
Dalam sedihnya, meneteslah air
mata dari Antaboga. Namun dari tetesam airmata itu, dari tiga tetesan air mata
itu berubah menjadi tiga buah mustikan yang indah dan berkilauan. Antaboga dan
Batara Narada kenuanya bingung, dan setelah berpikir sejenak, Batara narada
menyaranakn agar tiga buah mustika itu dipersembahkan pada Batara Guru, sebagai
bentuk permohonan agar beliau dapat mengerti keadannya sebagai seekor ular
dengan kepala manusia.
Lalu di kulumnya tiga mustika itu
dan berjalanlah Antaboga menemui Batara Guru. Dalam perjalanan, Antaboga
bertemu dengan seeokar gagak, dan seperti wajarnya dua orang sahabat yang
bertemu, sang gagak itu menyapanya. Namun karena Antaboga tengah mengulum tiga
buah mustika, tak dapatlah dia menjawab sapaan dari sahabatnya itu. Hal ini
menyebab terjadinya salah paham, dan serta merta, karena sapaanya tak di jawab
oleh Anataboga, sanga gagak dengan garang menyerangnya. Terjadilah perkelahian
sengit di antara dua orang sahabat yang sama sama sakti mandraguna.
Satu mustika pecah saat terjadi
perkelahian. Antaboga berusaha sembunyi dan menunggu gagak pergi. Namun sang
gagak menunggunya hingga antaboga muncul. Dan terjadilah perkelahian lagi, yang
menyebabkan satu mustika lagi pecah. Kini hanya tinggal satu yang utuh. Dengan
gesit melata, Anntaboga menyelinap di antara akar pohon dan bebatuan, hingga
sampailah dia di hadapan Batara Guru, dan kemudian memyerahkan persembahan
berupa satu mustika yang masih utuh.
Mendapatkan persembahan itu,
Batara Guru senang sekali, apalagi setelah tahu bahwa mustika itu adalah telur
ajaib, maka telur tersebut disuruhnya Anataboga untuk membawa pulang dan
mengeraminya hingga menetas.
Tak berapa lama, telur tersebut
menetas, dan keluarlah seorang bayi perempauan yang mungil dan cantik jelita.
Melihat kecantikan wajah bayi tersebut, Batara Guru dan permaisuri tertarik
untuk mengambilnya sebagai anak. Dan diberinya nama Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Tahun berganti tahu, dan
tumbuhlah bayi mungil nan cantik itu sebagai wanita dewasa yang semakin jelas
kecantikan dan keanggunannya. Bahkan kecantikannya tak dapat dikalahakn oleh
para bidadari yangada di kahyangan tersebut. Dan Batara Guru pun jatuh hati,
diam diam ingin mengambilnya sebagai permaisuri. Hal ini mengakhawatirkan para
dewa, karena akan mengacam kehidupan, keselarasan dan kesucian kahyangan.
Berbagai cara dilakuakn untuk
memisahkan keduanya. Maka, demi melindungi kehidupan kahyangan, dan kesucian
Nyi Pocahi Sanghyang Sri, tak ada jalan lain kecuali harus di lenyapkan. Para
dewa kemudian memberinya racun ke dalam minuman Sanghyang Sri, dan seketika,
beliau mati keracunan.
Sebelum meninggal, beliau sempat
berpesan bahwa :
“Bila tiba saatnya aku meninggal
dunia, dan bila kelak aku sudah disemayamkan, akan terdapat keanehan keanehan
dari pusaraku, dan itu akan bermanfaat bagi manusia di bumi.”
Batara Guru dan Antaboga sangat
sedih dengan kepergian Sanghyang Sri, demikian juga dengan dewa dewa yang lain.
Bagaimanapun, apa yang telah mereka lakukan adalah salah. Untuk menjaga
tubuhnya agar tetap suci, diturunkanlah
tubuh Sanghyang Sri ke bumi, dan dimakamkan di bumi. Namun karena kesucian Sangyahng
Sri, di tempat dimana dia dimakamkan, sesuatu yang luar biasa terjadi. Dari
tanah kuburannya itu, di bagian kepala, tumbuh pohon kelapa. Dan dari bagian wajahnya, tumbuh
rempah rempah dan sayur mayur. Sedangkan dari bagian rambut kepalanya, tumbuh berbagai
tananman bunga yang cantik dan harurm baunya.
Dan dari bagian dadanya, tumbuh pohon
buah buah yang ranum dan manis. Dari bagian lengan dan tangannya, tumbuh pohoj
jati, cendana dan kayu yang bermanfaat lainnya, sedangkan dari alat kelaminnya,
tumbuh pohon aren dan eanu yang bersadap nira manis. Dan dari bagian pahanya,
tumbuhlah tanaman jenis bamboo, dan dari bagian kakinya, tumbuhlah umbi umbian
dan ketela. Dan dari pusat pusaranya sendiri, tumbuhlah tanaman padi.
Suatu saat, sepasang kakek nenek
yang tengah mencari kayu bakar di hutan, menemukan sebuah pusara yang diatasnya
tumbuh tanaman tanaman yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya. Muncullah
niat kakek nenek itu untuk memelihara dan membersihkan tanah pusara itu. Lambat
laun, tanaman yang ada di atasnya telah menunjukkan hasilnya yang sangat
menggembirakan, dan dipetiklah buah dan sayur dan segala macam yang ada di
situ, dan kemudian mengambil beberapa pohonnya untuk di tanam di halam rumah,
di sawah dan ladangnya.
Setiap kali hasil yang didapatkan
sangat banyak dan bermanfaat bagi kakek nenek dan tetangga tetangganya. Maka
setiap kali panen baik, mereka kemudian mengadakan semacam selamatan, sebagai
wujud puji sukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang diterimanya, hingga
menamnah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Maka kemudian, sebuah pusara di tengah hutan, yang tak
dikenal itupun, kemudian diyakini sebagai pusara Dewi Sri (sri, artinya
kemakmuran, kesejahteraan), dewa wanita yang mebawa kemakmuran, yang tak lain adalah Nyi Pocahi Sanghyang Sri.
Dan acara selamatan itulah, di
daerah tertentu diadakan menjelang masa panen (tradisi wiwit) di Jawa Tengah,
dan ada pula yang diadakan pesta besar di desa, seperti yang kita kenal dengan
nama merti desa, cembengan, rasulan dan sebagianya.
“Bu, boleh nambah? Masih
lapar…….”
No comments:
Post a Comment