Tersebutlah Sanghyang Manikmaya
yang tengah mengendarai Lembu Nandini bersama istrinya, dewi Umayi melintasi
samudera luas, tiba tibak hasrat birahinya bergolak. Namun oleh Dewi Umayi, hal
tersebut ditolak, karena tidak pantas sebagai sosok dewa yang berkelakuan
seperti raksasa. Dan karena kata kata Dewi Umayi tersebut, seketika keluarlah
taring dari mulut Sanghyang Manikmaya, seperti taring taring yang dimiliki para
raksasa.
Walaupun telah mendapat hukuman
karena akan bertindak tak senonoh tersebut, namun Sanghyang Manikmaya tak juga
surut niatnya. Hasratnya terlanjur berkobar kobar dan tak dapat dibendung. Dan
karena Dewi Umayi tetap menolak, sacara tak sadar, Sanghyang Manikmaya
mengeluarkan “kama” dan jatuh di dalam samudera. “kama salah” atau kama tak sempiurna
tersebut, saat menyentuh air samudera, seketika menjelma menjadi seorang bayi
raksasa yang menggegerkan lautan dan arcapada.
Adalah Hyang Baruna, sang penjaga
lautan, yang kemudian melaporkan keadaan tersebut kepada Sanghyang Manikmaya di
Suralaya. Sanghyang Manikmaya pun kemudian memerintahkan segenap dewa dewa
perang untuk menyelesaikan perkara itu, dengan perintah bahwa bila tak dapat
diselesaikan, hendakanya bayi raksasa itu di lenyapkan saja.
Namun yang terjadi kemudian
adalah sebaliknya. Para dewa ahli perang tersebut kalang kabut, lari tunggang
langgang, tak dapat membendung kemarahan dan kesaktian sang bayi raksasa yang
dalam waktu singkat tengah menginjak usia dewasa. Kesaktian dan kedigdayaan
sang raksasa itu tak satupun yang dapat menandinginya. Bahkan saat para dewa
itu melarikan diri ke kahyangan untuk menyelamatkan diri, sang raksasapun
terbang dan mengejar mereka, hingga terjadi kekacauan yang luar biasa di negeri
kahyangan, negeri para dewa.
Melihat hal tersebut, sanghyang
manikmaya terpaksa turun tangan untuk menyelesaikan perkara itu. Namun raksasa
adalah raksasa, yang mempunyai sifat kasar, beringas dan tak mau di atur,
apalagi diperintah. Terjadilah pertempuran diantara keduanya. Sanghyang
Manikmaya, sang penguasa Suralaya, melawan seorang raksasa muda yang berasal
dari sebuah samudera.
Pertempuran tersebut membuat
negeri kahyangan dan arcapada bergolak dan bergejolak. Akhirnya agar tak lebih
parah akibat yang ditimbulkannya, sanghyang Manikmaya menerapakan “aji
kemayan”, ajian yang hanya dimiliki oleh para dewa. Dan sang raksasa itupun
tumbang, takluk oleh kesaktian Sanghyang Manikmaya. Untuk meredam keganasan raksasa itu, maka
kedua taringnya di potong, kemudian dijadikan keris. Taring kanan menjadi keris
Kyai Kalanadah dan yang kiri menjadi Kyai Kaladita.
Dan raksasa itupun kemudian diakuinya sebagai anak, dan diberi
nama Batara Kala. Karena sifat aslinya adalah raksasa, maka rakusnya melebihi
penghuni kahyangan lainnya. Hal ini juga meresahaklan sanghyang Manikmaya,
hingga suatu saat diutuslah Hyang Jagadnata untuk member peraturan makanan apa
saja yang diperbolehkan untuk dimakan oleh Batara Kala. Yaitu orang “sukerta”
yaitu orang yang mempunyai kesalahan besar dalam hidupnya, dan orang “aradan”,
yaitu orang yang lalai dalam kehidupannya.
Oleh Sangyang Manikmaya, dahi
Batara Kala diberinya tulisan rajah kalacakra,yaitu “sastrabedhati” dimaan
setiap orang yang dapat membaca rajah tersebut, terlepaslah dia dari mangsa
Batara kala. Karena orangf tersebut adalah orang yang tak boleh dimangsa oleh
Batar Kala.
Peraturan itu, membuat Batara
Narada terusik. Hakl ini karena sangat banyak manusia di arcapada yang termasuk
orang “sukerta” dan “aradan”. Bila aturan tersebut diterakan, amak akan sangta
banyak manusia yang menjadi korban. Hal ini disampaikan pula ke Sanghyang
Manikmaya. Menyadari kekeliruannya, Sangyang Mankimaya mengutus Batara Wisnu
untuk turun ke arcapada dan menggagalkan usaha Batara Kala yang telah
mendahului turun ke arcapada.
Batara Wisnu yang diutus, hal ini
karena Batar Kala hanya dapat dikalahkan oleh Batara Wisnu ketika menjelma
menjadi Balasrewu, seorang raksasa yang besarnya sebesar gunung anakan. Upaya
menagkal siapa saja manusia di arcapada yang tak boleh dimangsa oleh Batar Kala
adalah dengan memberikan penggolongan orang orang yang ada. Contoh golongan
orang yang boleh dimangsa oleh Batara Kala adalah :
- Anak ontang anting : anak tunggal
- Kedhana-kedhini : dua saudara laki laki dan perempuan
- Dhampit : anak laki laki dan perempuan yang lahir beriringan dalam satu kelahiran.
- Julung prijud : anak yang lahir pada saat tenggelamnya matahari
- Julung wangi : anak yang lahir pada saat matahari terbit
- Condhang kasih ; anak kembar yang satu berkulit putih dan yang satu berkulit hitam
- Orang yang menjatuhkan “dandang” yaitu alat menanak nasi saat digunakan
- Orang yang mematahkan “pipisan” yaitu batu bulat panjang yang digunakan untuk menggerus daun ataupun obat.
- Mendirikan rumah tanpa “tutup keong”
- Menaruh beras dalam lesung
Adapun setiap manusia di
arcapada, kadang melakukan kesalahan seperti diatas, ataupun mempunyai kejadian
seperti di atas. Dan hal itu adalah
bukan sebuah kesengajaan, maka Batara Wisnu pun masih ada upaya lagi agar
terlepas dari Batara Kala, yaitu bagi setiap manusia yang kebetulan berada
dalam keadaan seperti tersebut diatas, hendaknya kemudian mengadakan semacam
ritual selamatan, yang bertujuan agar terhindar dari semua keadaan yang
termasuk ke dalam golongan orang “sukerta “ tersebut.
Dalam perkembangan di masyarakat,
dulu, orang orang tua kita sering memberikan peringatan akan hal hal tertentu
yang tak pantas, dengan dalih bahwa orang yang melakukan hal tersebut akan
dimangsa oleh Batara Kala, misalnya, orang yang makan sambil berdiri, makan di
depan pintu rumah, berani kepada orang tua, dan lain lain.
Hal itu semuanya sebenarnya untuk
memperingatkan bahwa apa yang dilakukan tersebut tak pantas. Sebuah kearifan lokal
yang cukup bijak. Namun, pada jaman sekarang, rasanya hal tersebut telah
hilang. Apalagi generasi sekarang, dimana bahasa daerahnya sendiri saja kadang
tak menguasi. Hmmmmm………. Apakah Batara Kala jaman sekarang telah berganti
rupa????
Peristiwa Batara Kala tersebut,
tak lepas dari kekhilafan dari Sanghyang Manikmaya, karena menuruti hasrat dan
nafsu belaka, hingga kelakuannya tak beda dengan kelakuan raksasa. Yah,
kekhilafan dewa (penguasa) yang akibatnya harus di tanggung oleh manusia di
dunia (arcapada). Mirip dengan yang terjadi di negara kita. Penguasa yang
berulah, rakyatlah yang resah dan harus menanggung akibatnya. Entah…….
Bukannya nafsu terhadap istri sendiri itu baik ???
ReplyDeleteHey bodoh pahami lagi ya,disana Dewi Uma menolak sekarang gw tanya apakah suami harus memaksakan kehendaknya ?
DeleteBukannya nafsu terhadap istri sendiri itu baik ???
ReplyDelete