Cukup menarik perhatian,sebuah warta daerah yang mengulas
tentang sebuah Konggres Bahasa Jawa (KBJ) V, di JW Marriot, Surabaya. Konggres
yang dihadiri oleh para peneliti empat negara ini, cukup menarik. Mereka
berasal dari Malaysia, Australia,
Belanda dan Suriname.
Ada beberapa catatn yang perlu mendapat perhatian adalah
salah satunya dari peneliti Australia. George Quinn, pakar sastra Jawa yang
berasal dari Australia itu, sangat fasih berbahasa Jawa krama halus. Mungkin
kita sabagai orang Jawa, kalah dengan beliau.
Bahkan, sejumlah guru besar sastra Jawa dan peneliti bahasa
dan Sastra dari Jakarta, Jateng dan DIY tak fasih berbahsa Jawa, dan makalah
yang disajikan pun dengan memakai bahasa Indonesia. Hal ini mengundang kecaman
dari peserta konggres lainnya.
Hal ini terjadi karena adanya “wedi kleru”, atau takut salah dari para peneliti itu. Inilah yang
kemudian menjadikan kemunduran dari bahasa Jawa, karena setiap orang akan takut
salah dalam penerapannya. Lihatlah di sekolah sekolah kita di Indonesia. Adakah
mata pelajaran wajib bahasa Jawa?
Kita lihat negeri tetangga,
Australia. Di negeri itu, tak hanya Bahasa Indoensia yang masuk ke dalam
kurikulum pelajaran mereka. Hal ini dikarenakan mereka melihat betapa potensi
negara Indonesia yang begitu besar, yang mungkin, dapat mereka jadikan tempat
untuk merambah dan mencari pengahsilan dari negeri yang kaya raya ini.
Lebih hebatnya lagi, kerawitan, sebuah karya bangsa leluhur
kita, yang orang Jawa sendiripun telah sangat jarang menguasai kesenian jenis
ini, di Australia keseneian ini merupakan sebuah mata pelajaran khusus, sejak
dari bangku sekolah menengah atas. Bayangkan!!! Apa tidak malu kita bangsa
Indonesia? Sudah bukan pemandangan yang aneh lagi bila dalam sebuah kerawitan,
wayang ataupun kethoprak, disana terdapat beberapa orang asing, entah Jepang,
Australia, Belanda, Amerika yang duduk dibelakang gamelan, dengan mengenakan
busana jawa, memainkan alat musiknya dengan baik, dan seorang wanita asing cantik
jelita berkain kebaya, duduk di jajaran para pesinden.
Mengutip dari pernyataan Salam Paul dari Suriname dalam
konggres itu, beliau menyatakan bahwa ‘yen
wong Jawa wis ora gelem ngomong Jawa, ora suwe maneh Jawa bakal ilang”. Beliau
yang jauh jauh datang dari Suriname untuk mengikuti konggres ini, harus menelan
kekecewaan. Mantan Menteri Sosial Nehara Suriname keturunan Salatiga itu, datang
ke konggres untuk menyambung tali silaturahmi (ngumpulke balung pisah), dan untuk lebih melestarikan bahasa dan
kebudayaan Jawa seperti sediakala.
Mungkin tak berlebihan kiranya bila negara lain, yang dengan
serta merta mengajukan hak paten atas suatu karya bangsa Indonesia ataupun
kebudayaan Jawa, yang akan mereka akui
bahwa kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan asli negaranya. Hal ini karena
kita sendiri, bangsa yang empunya, seringkali mengesampingkan hal hal semacam
itu. Lihatlah kasus kain batilk, reog
ponorogo, bukankah itu semuanya milik kita? Namun mengapa negara lain bisa
melakukan meminta kepada dunia agar hal tersebut diakui sebagai milik mereka? Setelah
kasus mencuat, barulah negara kita berteriak menyatakan bahwa itu semua adalah
milik kita.
Bila dipersonifikasikan, jadi teringat akan beberapa tipikal
manusia dalam hal terbangun dari kesalahannya. Ada tipikal orang, pertama, yang
apabila dilihat saja, cukup dilihat, mereka telah sadar akan kesalahannya dan
segera memperbaiki diri.
Tipikal kedua, orang, untuk menyadarkan akan kesalahannya,
harus dengan kata kata yang disampaikan kepadanya secara langsung.
Tipikal ketiga, orang, untuk menyadarkan dari kesalahannya,
harus dengan kata kata yang keras, tatap muka, dan dengan gerakan, seperti
menunjuk dan memperagakan.
Tipikal keempat adalah, orang, untuk menyadarkan dari
keslaahannya,harus diperlakukan dengan keras, dengan teriakan, dengan tamparan
dan kekerasan yang tak perlu lainnya.
Nah, sehubungan dengan kasus konggres bahasa Jawa tersebut
diatas, bila dipersonifikasikan sebagai orang, tipikal yang ke berapakah
Indonesia Raya???? Haruskah kita “tertampar” lagi dan lagi????
No comments:
Post a Comment