Berkunjung ke Makam Dyah Balitung Rakai Watukura,
Sang Garuda Muka. Kebetulan untuk sebuah urusan, tibalah diriku ke sebuah
wilayah bernama Watukura, Purwodadi, Purworejo. Ingatanku langsung terarah ke
sebuah jaman, dimana ada sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh Dyah Balitung
Rakai Watukura. Seperti apakah uraiannya?
Dyah Balitung
Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri
Dharmodaya Mahasambu adalah raja Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau
lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 899–911.
Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Asal-Usul
Analisis para sejarawan, misalnya Boechari atau
Poerbatjaraka, menyebutkan bahwa Dyah Balitung berhasil naik takhta karena
menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai
Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung.
Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan
hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu
Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan
Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan
ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan
prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.
Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan
menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil
menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga
kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai
Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja daripada iparnya, yaitu
Mpu Daksa.
Riwayat Pemerintahan
Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana
Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan
sudah dipindahkan ke daerah Poh Pitu yang diberi nama Yawapura. Hal ini
dimungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan)
telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi.
Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil
ditemukan adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899. Namun bukan berarti
ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah
naik takhta sebelum tahun 899.
Disusul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli
902. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan
Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan
Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang
dipegang oleh Mpu Daksa.
Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 berisi
tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang dipimpin oleh
Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak
desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah
dari para penyeberang.
Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 berisi pembebasan
pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan
Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang dimakamkan di Pastika, yaitu Rakai
Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung.
Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 berisi
anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha
Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan.
Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah
Bantan artinya “korban”, sedangkan Bali artinya “persembahan”.
Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 berisi
tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga
keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini disebutkan pula
urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya.
Pada tahun 907 tersebut Balitung juga memberikan
desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan
tugas merawat bangunan suci di Limwung.
Akhir Pemerintahan
Pengangkatan Dyah Balitung sebagai raja kemungkinan
besar melahirkan rasa cemburu di hati Mpu Daksa, yaitu putra raja sebelumnya
yang tentunya lebih berhak atas takhta Kerajaan Medang.
Mpu Daksa yang menjabat sebagai Rakai Hino ditemukan
telah mengeluarkan prasasti tanggal 21 Desember 910 tentang pembagian daerah
Taji Gunung bersama Rakai Gurunwangi.
Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa, Rakai
Gurunwangi mengangkat dirinya sebagai maharaja pada akhir pemerintahan Rakai
Kayuwangi dan awal pemerintahan Rakai Watuhumalang. Berdasarkan prasasti
Plaosan,
Rakai Gurunwangi diperkirakan adalah putra Rakai Pikatan.
Dyah Balitung berhasil naik takhta menggantikan
Rakai Watuhumalang diperkirakan karena kepahlawanannya menaklukkan Rakai
Gurunwangi dan Rakai Limus. Mungkin Rakai Gurunwangi yang menyimpan dendam
kemudian bersekutu dengan Mpu Daksa yang masih keponakannya (Rakai Gurunwangi
dan Daksa masing-masing adalah anak dan cucu Rakai Pikatan).
Sejarawan Boechari yakin bahwa pemerintahan Dyah
Balitung berakhir akibat pemberontakan Mpu Daksa. Pada prasasti Taji Gunung
(910) Daksa masih menjabat sebagai Rakai Hino, sedangkan pada prasasti Timbangan
Wungkal (913) ia sudah bergelar maharaja.
Sumber : Dyah Balitung
Minta infonya bos.. makamnya itu ada di daerah mana..
ReplyDeleteinfo yang saya terima, di Watukura, Purwodadi, Purworejo.
Delete