Tuesday, July 24, 2018

Diskusi Budaya Sumilaking Watukuro Semangat Warga Watukuro Untuk Mengungkap dan Mengetahui Sejarahnya

 
Diskusi budaya merupakan salah satu acara dalam rangkaian kegiatan Kolaborasi Seni dan Budaya Sumilaking Watukuro yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa setempat.  Diskusi yang diselenggarakan pada Hari Selasa 24 Juli 2018 di Balai Desa Watukuro tersebut menghadirkan beberapa nara sumber baik dari akademsi, wartawan, pemerhati sejarah, dan pemerintahan setempat.

Dalam paparannya, nara sumber dari kalangan akademis yang dihadiri olah dr. Dibyo mengatakan bahwa Watukuro merupakan sebuah wilayah yang berkonsep kerajaan. Arti kerajaan di sini tidak semata mata seperti dalam cerita cerita bahwa kerajaan yang megah, luas tangguh dan sebagainya, akan tetapi konsep kerajaan ini adalah rangkaian yang terdiri dari wilayah-wilayah kerakaian yang tersebar dan masuk ke dalam wilayah kekuasaannya. Bisa besar, bisa juga kecil.

Sedangkan dalam wawancara terpisah, Beliau membenarkan adanya sebuah bukti otentik tentang Watukuro ini, yaitu berupa Prasasti Watukuro yang kini tersimpan di Denmark. 


 Untuk batas batas wilayah kekuasaan dari Dyah Balitung, raja pada saat itu, hingga kini masih menjadi perdebatan. Begitu juga dengan makam Dyah Balitung yang dalam prasasti yang dibuat pada tahun 2017 di makam setempat disebut sebagai Dyah Balitung Rakai Watukuro (Sang Garuda Muko). Sebagian meyakini bahwa disitulah makam Dyah Balitung, sebagian lagi tidak.

Adapun sebuah gundukan tanah di sebelah timur dari Kantor Desa Watukuro yang ditengarai sebagai sebuah bangunan peninggalan Dyah Balitung, kebenarannya juga harus diungkap dengan cara dilakukan penggalian. Namun setelah dikonfirmasi lebih lanjut, gundukan tanah yang didalamnya terdapat batu bata yang berukuran besar itu, hingga kini belum pernah dilakukan penggalian oleh dinas terkait, walaupun sudah dilakukan survey beberapa kali.


Berbeda dengan kalangan akdemisi, Atas, seorang wartawa senior mengungkapkan berdasar kronik Cina, tentang Ci Watukura, yang berarti Sungai Watukura, yang merupakan sungai besar, tempat kapal kapal berlabuh di muara Sungai yang sekarang kita kenal sebagai Sungai Bogowonto ini. Menurutnya, pada saat itu, sekitar tahun 640 Masehi, sudah ada hubungan perdagangan dengan Tiongkok, yaitu pada saat kekuasaan Dinasti Tang, dan juga pada tahun 666 Masehi. Bukti dari itu semua, ada pada Prasasti Watukuro juga.





Dari pemerhati sejarah setempat, mantan kepala desa dan sekertaris desa, secara terpisah mengungkapkan bahwa awal mula dari Watukuro adalah Kerajaan Bagelen. Di Kerajaan Bagelenlah Dyah Balitung berkuasa, yang kemudian kekuasaannya menjadi sangat luas hingga hampir seluruh Nusantara, dan berada pada masa yang digolongkan pada masa Mataram Kuno. Kerajaan Bagelen sendiri justru sangat jarang disebut, karena tidak pernah disebut sebut. Orang lebih mengenal Watukuro, dari Prasasti Watukuro, namun tidak mengetahui kerajaan apa yang membuat prasasti tersebut.
Sebagai penutup, Pak Camat Purwodadi mengatakan bahwa Watukuro, memang masih menyimpan banyak pertanyaan yang layak diperdebatkan. 

Namun demikian, yang perlu diungkap juga adalah tentang kehidupan sosial yang ada pada jaman itu. Baik tentang tata krama, pendidikan, pertanian, perdagangan, sistem irigasi tata pemerintahan dan sebagaainya, yang dapat kita ambil dan dijadikan untuk diimplementasikan dalam kehidupan sekarang ini untuk kembali kepada kejayaan yang pernah diraih.Sekaligus pembangunan karakter bangsa agar tetap menjadi diri kita sendiri, di negeri kita sendiri, dengan norma dan tata pergaulan kita sendiri.  Itu yang terpenting saat ini. Demikian Pak Camat menutup diskusi ini.





























No comments:

Post a Comment