Kadang, akal manusia tak dapat
mencerna berbagai macam hal yang terjadi di dunia. Semua tak terlepas dari
keterbatasan yang dimilikinya, demikian juga dengan kelebihan yang dimiliki
pula, sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Kelebihan dan keterbatasan yang
dimiliki oleh manusia adalah anugerah. Dapat dibayangkan betapa repotnya bila
pendengraan kita ini tak terbatas kemampuannya, maka dapat dipastikan kita tak
akan dapat tidur karenanya, karena semua hiruk pikuk umat yang ada di dunia ini
dapat kita dengarkan. Subhanallah….
Pun demikian dengan logika dan
nalar seseorang. Dan bila saat nalar tak dapat berjalan dengan baik, kita masih
dapat mencari jawabnya. Apabila telah stagnan, kita dapat bertanya apada orang
yang lebih tahu, atau lebih berpengalaman. Hal itu, dapat membuat nalar yang
terbatas, kembali menjadi segar, karena simpul simpul telah terbuka, dan
ditemukannya hal hal baru yang kadang sama sekali tak kita duga.
Dalam keterbatasan nalarku, ku
mengunjungi seorang yang telah sangat berpengalaman, banyak makan asam garam
kehidupan, dan secara keilmuan spiritual, beliau termasuk seseorang yang dapat
diunggulkan.
Bermula dari beberapa candi kecil
yang kulewati, dengan bangunan yang sangat sederhana, tak terkenal, dan
informasi yang ada pun sangat minim. Dan lokasi candi candi tersebut, jarak
satu dengan yang lain, tak begitu jauh, dan seolah membuat sebuah pola, yang
tersentralkan pada sebuah candi agung yang sangat megah, Candi Prambanan.
Rupanya, candi candi kecil
tersebut adalah peninggalan sebuah kisah dari terjadinya Candi Sewu, permintaan
Rara Jonggrang kepada Bandung Bondowoso. Sebagian dari kita tentu telah
mengetahui sejarah terjadinya patung Rara Jonggrang di komplek Candi Prambanan.
Namun kisah yang aku dengar, adalah sama sekali berbeda.
Dikisahkan bahwa Rara Jonggrang
adalah puteri dari Raja Baka. Sebuah keraton yang berada di atas pegunungan.
Rakyatnya hidup sejahtera, dan rajanya sangat dihormati oleh raktyatnya. Beberapa
sejarawan menyebutnya Kerajaan Di Atas Awan. Hal ini karena letaknya yang
memang di atas pegunungan, dan peninggalan sejarah Keraton Baka itupun, hingga
sekarang relative masih cukup lengkap.
Negeri subur makmur itu, mendadak
diserang oleh Kerajaan Pengging (sekarang Boyolali bagian barat), yang dipimpin
oleh putra mahkota yang gagah perkasa lagi sakti mandraguna, yang bergelar
Bandung Bondowoso. Kerajaan Baka pun hancur, takluk oleh Bandung Bondowoso,
bahkan sang raja, ikut terbunuh, dan meninggalkan puteri yang cantik jelita,
yang bernama Rara Jonggrang.
Karena kecantikannya, Bandung
Bondowoso ingin mengambilnya sebaga permaisuri. Sang putri, tak dapat menolak,
namun dia tak dapat memungkiri nuraninya bahwa dia tak mau diperistri oleh
Bandung Bondowoso. Kemudian dicarilah berbagai alasan agar Bandung Bondowoso
tak dapat memperisitrinya, yaitu dengan syarat bahwa dia mau diperistri,
asalkan Bandung Bondowoso dapat membuat seribu candi, dalam waktu satu malam
saja.
Bandung Bondowoso adalah seorang
laki laki, raja, yang sakti, dengan pengikut berbagai macam makhluk halus. Dan
semua pengikutnya, tak satupun yang berani membantah perintah Bandung
Bondodwoso. Persyaaratan disanggupi, dan kemudian dia mengheningkan cipta,
memohon kekuatan dan mengumpulkan semua pengikut pengikutnya. Semua makhluk
halus yang bermukim di gunung, lembah, hutan, semuanya dikerahkan.
Pada malam berikutnya, dimulailah
perkerjaan maha besar itu. Masing masing dari pengikutnya, harus membuat candi,
dengan bentuk tertentu, dan sebelum pagi menjelang, sudah harus tertata di sebuah tanah lapang di samping candi Prambanan.
Dari segala penjuru, pekerjaan
membangun candi di mulai, namun di segala penjuru pula, Rara Jonggrang
menyebarkan dayang dan pembantu pembantunya, dengan tujuan untuk menggagalkan
usah tersebut. Dengan berbekal jerami kering, gejog lesung, pembantu Rara
Jonggrang menggagalkan usaha pembuatan candi itu. Namun setiap kali mereka
gagal, setiap kali pula mereka membuat candi baru, dengan arah yang mendekati
Candi Prambanan. Demikian seterusnya.
Hingga pada saat saat terakhir
malam itu, di pusat penempatan candi candi itu ke daerah Prambanan, tak ada
pilihan lain. Kali ini, Rara Jonggrang sendiri yang harus beraksi. Dibakarlah
jerami disisi timur, sehingga nampak seolah olah fajar telah menyingsing, dan
lesung yang ditabuh bertalu talu, yang menandakan penduduk desa telah bangun
dan menumbuk padi, sehingga ayam ayam pun berkokok. Lengkap sudah suasana pagi
yang dia ciptakan.
Bandung Bondowoso yang masih
sibuk mengawasi para pengikutnya, tiba tiba terkejut mendapati anak buahnya
telah lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaanya, karena mereka takut akan
sinar matahari. Candi candi yang telah tertata rapi, baru 999 buah. Kurang
satu. Yah, kurang satu lagi. Namun bagaimanapun, seribu adalah seribu. Bukan sembilan
ratus sembilan puluh sembilan.
Fajar menyingsing, Bandung
Bondowoso tak dapat berkilah, walau dia menyimpan amarah yang sangat, karena
dia tahu bahwa Rara Jonggrang telah
menggagalkan usahanya dengan cara yang licik. Diajaknya Jonggrang untuk
memeriksa dan menghitung jumlah candi. Yah, kurang satu!
Jonggrang Nampak kegirangan.
Walau dengan raut muka yang disembunyikan, namun Nampak sekali bahwa dia
gembira, bahwa kerja keras Bandung Bondowoso telah dapat dia gagalkan.
Bagaimanpun, bandung Bondowoso
adalah laki laki, yang tak sudi kerja kerasnya telah di curangi, walau oleh
orang yang sangat dicintai. Harga dirinya tak dapat menerima hal itu. Maka
dengan kata kata yang penuh amarah dan mengeluarkan kesakstiannya, dia berkata
lantang;
“Rara Jonggrang, aku memang telah
gagal memenuhi permintaanmu untuk menciptkan seribu candi dalam satu malam.
Namun kegagalanku bukan karena ulahku, tapi karena kamu telah berlaku pengecut!
Maka, akan aku tuntaskan pekerjaan ini hingga menjadi seribu candi, dan yang
satu candi itu adalah, ENGKAU!!!!!”
Kata kata lantang itu diucapkan
dengan dilandasi kesaktian, dan dengan
jari menunjukk ke Rara Jonggrang untuk mengutuknya. Dan halilintar menggelegar,
langit gelap, naga naga petir bersahutan di udara, sebagai tanda menyaksikan
bahwa seorang dara cantik jelita, karena kelakuannya, telah dikutuk menjadi
batu.
Dan patung Rara Jonggrang itu,
sampai sekarang masih tetap ada, demikian juga dengan candi candi keacil
lainnya. Maka, cukup masuk akal bila kita berjalan jalan di sekitar wilayah
Candi Prambanan, dengan ditarik garis lurus ke arah timur laut (kea rah
Pengging), disitu akan dijumpai beberapa
candi kecil, bekas candi, candi rusak tak berbentuk, tak sempurna,
bahkan ada beberapa bagian candi yang terpisah pisah dengan candi candi
induknya. Itulah ulah perbuatan para pembantu Rara Jonggrang.
Konon, petilasan dari Rara Jonggrang berada di Dusun Semoyo, Wonosari, Patuk, Gunung Kidul. tempat Rara Jonggrang beristirahat dengan ditemani oleh dua orang pengawal. Saat dua pengawal itu mencarikan sumber air untuk minum, Rara Jonggrang menunggunya di bawah pohon duduk diatas batu, sambil menyisir rambutnya yang hitam ikal dan panjang. Tanpa terasa saat selesai, Rara Jonggrang mendapati helai helai rambutnya yang jatuh.
Dipungutilah helai helai rambut itu dan kemudian dibungkus dengan kainnya, dan lalu dipendamnya di dalam tanah di tempat itu. Tempat yang sekarang kita kenal sebagai Dususn Semoyo tersebut. ada cerita tutyur yang mengatakan terjadinya dusun Semoyo, yang berarti menunda waktu. Bahwa di tempat itulah Rara Jonggrang menunda nunda wakttunya untuk berpikir tentang niat Bandung Bondowoso yang ingin menyuntingnya. Entahlah....