Sore sore jalan ke Candi Mendut,
Magelang. Walau agak dipaksakan, karena rintik hujan yang makin rapat, namun
semakin nikmat. Candi yang tidak begitu popular, hanya sekedar di ketahui,
namun amat jarang di kunjungi. Hal ini karena lokasi yang tidak cukup menarik,
penataan area parkir dan pedagang asongan yang terkesan cukup dipaksakan,
hingga pengunjung hampir tak sempat menarik nafas karena sepanjang jalan yang
relatif cukup sempit itu di penuhi oleh pedagang asongan.
Candi Mendut yang “berdiri
sendiri”, tanpa fasilitas pendukung lainnya, membuat pengunjung hanya datang
dan pergi, tidak cukup tertarik untu mengamati apalagi mempelajari. Padalah
apabila mau mempelajari lebih dalam lagi, cukup banyak cerita menarik yang
terpahat di dindingh dinding candi, yang tertuang ke dalam gambar yang saling
berrangkaian.
Candi
Mendut berada di dekat candi Borobudur, sekitar 2 km sebelum candi Borobudur. Candi Mendut yang dibangun sekitar tahun 800
masehi ini mempunyai hubungan erat dengan Candi Borobudur
dan Pawon.
Beberapa
pahatan yang cukup menarik adalah yang dipahatkan di candi ini memaparkan suatu
cerita Tantri (binatang) dari kitab Tantri Kamandaka. Kitab ini bersumber pada
Kitab Pancatantra. Kitab Kamandaka berisi tenteng dongeng hewan, yang diawali
dengan cerita tentang seribu satu malam.
Candi
ini menggambarkan taman kijang Banares di India. Tempat dimana Buddha Gautama
mencapai kebijaksanaannya dan pertama kali menyiarkan ajarannya. Tidak seperti
layaknya candi-candi di Jawa Tengah yang kebanyakan menghadap ke timur.
Candi
Mendut ini menghadap ke barat daya. Candi
Mendut terkenal dengan patung Buddha Cakyamuni setinggi 3 meter yang diapit
oleh dua Bodhisatwa, Avalokitesuara dan Vajraparani. Patung Buddha ini sedikit
berbeda dengan patung Buddha lainnya dimana sang Buddha duduk bersila diatas
kedua kakinya tanpa beralaskan bunga lotus. Hebatnya lagi setiap patung ini
dibuat ditatah dari satu bongkah batu besar.
Tak
heran bila banyak turis asing yang berdatangan ke candi ini, sedangkan turis
domestic tidak begitu tertarik. Hal itu bisa di lihat di daftar kunjungan tamu,
dimana persentase turis asing lebih banyka dari turis domestic.
Seperti
yang terjadi tempo hari. Saat kami berkeliling mengamati relief candid an
berusaha merangkai rangkai cerita di dalamnya, kami temui seorang turis asing,
yang bila kami tulis dalam obrolan singkat, kurang lebih seperti ini :
K
(kulo) : “Halo, apa kabar?”
L
(londo) : “Kabar baik, bagaimana dengan anda?” (dalam bahasa Inggris tentunya)
K
: “Dari mana?”
L
: “Oh…. Saya dari Belanda”
K
: “Sudah berapa lama di Indonesia?”
L
: “Sudah 3 minggu, kami berkeliling dari Solo, Jogja, nanti sampai Bandung”
K
: “Candi ini ditemukan oleh orang Belanda lho….”
K
: “Oh ya? Hebat ya! Bangunan megah seperti ini ada di sini!”
K
: “Begitulah. Ngomong ngomong, enak ya bisa jalan jalan di Indonesia. Banyak duit donk. Kerjaan
anda apa di Belanda?”
L
: “Oh, saya petugas pajak di negeri Belanda”
K
: “Oh, pajak…….” (Otakku teringat suatu kasus yang tengah melanda negeri ini.)
L
: “Yes. Pajak. Kami menarik uang dari rakyat, dan nanti kita kembalikan ke
rakyat juga dalam bentuk pembangunan, kesehatan, industri, pendidikan dan lain
lain. Intinya, kami menarik uang dari rakyat, tapi kami tidak menyimpannya,
kami kembalikan lagi kepada rakyat.”
K
: “Oooohh…..gitu ya? Kok beda sama yang terjadi disini ya?”
L
: “Hmmmm…..memang, kasihan banget negeri
Anda.”
K
: “Hah…..tau juga ya????”
Dia
tersenyum dan mohon diri untuk melanjutkan menuju Borobudur.
No comments:
Post a Comment