Cukup menggelitik angan dan
pikiran bila ingat akan Sabda Palon. Dalam Kitab Ramalan Sabdo Palon dan
Dharmagandhul, diceritakan bahwa Sang Sabdo Palon, sosok pemomong raja raja
tanah jawa itu, murca, mokswa, menghilang dari kewajibannya karena pada saat
itu, Sang Raja, Prabu Brawijaya, yang tengah lari ke Blambangan,untuk mencari bala bantuan dari
Cina dan Bali untuk memukul mundur serangan dari anaknya sendiri, Raden Patah
yang memimpin Demak, dihentikan oleh
Sunan Kalijaga.
Dalam pertemuan itu, Sunan
Kalijaga berhasil meng-islam-kan Prabu Brawijaya, namun Sang Pemomong, yaitu
Sabdo Palon, tak bersedia mengikuti jejak Rajanya untu menganut agama Islam. Maka
Sang Sabdo Palon memutuskan untuk memisahkan diri, dan ditanya akan pergi
kemana, beliau menjawab bahwa beliau tak akan pergi, namun hanya menjelma dalam
berbagai wujud dan menetapkan bahwa dia
bernama Semar, dan dalam wujud yang
samar.
Dalam naskah ramalan Sabdo Palon
disebutkan bahwa beliau berkata :
Sabdo Palon menjawab kasar :
“Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu, karena saya ini raja serta
pembesar Dang Hyang tanah Jawa yang membantu cucu serta para raja Tanah Jawa. Sudah
diagriskan, bahwa kita harus pisah sang Prabu…”
“Berpisah dengan Sang Prabu, dan kembali ke asal mula saya. Namun perlu
Sang Prabu Catat, bahwa kelak setelah 500tahun, saya akan dating dan mengganti
agama Budha lagi (agama budhi, kawruh budhi), dan saya sebar ke seluruh tanah
Jawa.”
“Bila ada yang tak mau memakai agama Budha, akan saya hancurkan. Menajdi
makanan jin setan dan lain lainnya. Belum lega hati saya bila belum saya hancur
leburkan. Dan saya akan memebuat tanda akan datangnya kata kata saya ini. Kelak
bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya”
“Lahar itu mengalir ke barat daya, baunya tak sedap. Itulah pertanda
kedatangan saya. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (kawruh budhi). Kelak Merapi
akan menggelegar. Itu sudah takdir Hyang Widi, tak dapat diubah lagi.”
Yang cukup menarik pikiranku
adalah, “Hamba tak bersedia masuk Islam Sang Parbu..”. Adalah wajar dan
merupakan hak setiap umat, bahwa tak seorangpun berhak untuk memaksakan
kehendak untuk mengikuti agama maupun keyakinan tertentu terhadap orang lain. Karena
setiap umat memepunyai hak azasi, pola pikir dan pilihan sendir sendiri. Dan yang
tidak bersedia mengikuti agama maupun keyakinan tertentu, seharusnya tak perlu
sakit hati karena seseorang telah menuntukan pilihannya sendiri, apalagi
kemudian mengancam dan lain sebagainya.
Yang menarik pula adalah tentang
apa yang disebut sebagai agama Budha (kawruh Budhi). Apabila yang dimaksud
adalah benar benar agama Budha, rasanya seperti yang tertulis diatas, tak perlu
ancaman dan tekanan. Bukankah kita semua tahu bahwa semua agama adalah baik,
semuanya mengajarkan tentang cinta kasih sesame, untuk kemuliaan umat masing
masing dan semesta.
Namun bila yang dimaksud agama
Budha adalah kawruh budhi, memang seharusnya kita harus berkaca dan
membelalakkan mata. Boleh kita melihat ke diri kita masing masing, dan
bertanya, bahwa apakah kita sekarang ini masih termasuk ke dalam golongan
manusia yang “berbudhi”???
Yang mencintai tanah
kelahirannya, sejarah dan kebudayaannya, kearifan local yang hidup abadi di
dalamnya. Rasanya, tak berlebihan bila dikatakan bahwa kita, telah sedikit
bergeser, dan meninggalkan apa yang di masuk sebagai “budhi” tersebut. Arus dunia
barat begitu ganas menggempur kita, dalam segala segi kehidupan. Dan kita,
seperti yang pernah dikatakan oleh Guruh Sukarno Putra, bahwa kita telah
kehilangan karakter sebagai bangsa. Dan hal inilah yang menyebabkan begitu
lemahnya sendi sendi kita bangsa Indonesia untuk dapat bertahan dari gempuran
arus barat.
Apakah arus dari barat itu buruk?
Tidak!! Semuanya tergantung dari kita untuk menyikapinya, dan itu diperlukan
karkater yang kuat. Pernah diberitakan
bahwa seorang ibu muda, telah kehilangan bayi mungilnya, meninggal dunia,
karena sang ibu asyik bermain BB. Apakah ini salah BB? Tentu tidak!
Ini hanyalah sekedar contoh kecil
bahwa kita, telah meninggalkan apa yang seharusnya menjadi esensi, namun lebih
mementingkan gengsi dan hal hal remeh temeh lainya. Mungkin seperti itulah yang
dimaksud dalam Ramalan Sabdo Palon tersebut, bahwa beliau akan menyebarkan
kawruh budhi lagi, karena diakui maupun
tidak, “berbudhi” itu sekarang tak lebih dari sekedar wacana, slogan, dan
campaign campaign lainnya.
Rasanya, belum terlambat bagi
kita untuk kembali “berbudhi”. Dan dengan “berbudhi” rasanya segala macam
perkembangan dan kemajuna jaman, dapat dimanfaatkan lebih optimal dan arif.
No comments:
Post a Comment