Perkembangan penggunaan herbal
medicine dalam praktek kedokteran selalu menarik perhatian. Disatu sisi
beberapa kalangan yang pro selalu menekankan bahwa herbal medicine aman dikonsumsi karena telah digunakan selama berabad-abad
lamanya oleh nenek moyang sehingga bukti empiris memang telah ada sejak dahulu.
Disisi lain kalangan akademis dan praktisi senantiasa menekankan pada aspek
bukti ilmiah yang harus menyertai setiap bahan yang digunakan untuk proses
pengobatan.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, realita yang ada menunjukkan
bahwa praktek penggunaan herbal medicine
telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak dulu kala. Ketika yang ada
hanya kekayaan alam termasuk tumbuhan disekitarnya, maka pemanfaatan kekayaan
alam ini dalam proses penyembuhan penyakit menjadi paling utama. Perkembangan
menjadi berbeda ketika teknologi mampu mengolah dan mensintesis bahan alam
secara kimiawi dan biologik menjadi obat yang memiliki khasiat pasti bagi
manusia. Namun tidak dipungkiri pula, bahwa teknologi modern untuk terapetik., tidak pernah mampu menggeser peran herbal
medicine dalam pengobatan manusia di dunia. Fakta menunjukan bahwa herbal
medicine masih menjadi andalan sekitar 75% hingga 80% penduduk dunia, untuk
mengatasi masalah kesehatan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat
penerimaan secara kultural dan keyakinan bahwa baham alam memang disediakan dan
cocok untuk manusia, termasuk aman untuk dikonsumsi.
Di China herbal medicine memegang
peran penting dalam terapi berbagai penyakit, bahkan digunakan juga untuk
mengatasi yang mengancam jiwa, seperti SARS
(severe acute resspiratory syndrome). Sekitar 80% penduduk Afrika juga
menggunakan herbal medicine untuk
mengatasi penyakit, pasar herbal medicine
di dunia setiap tahunnya juga sangat besar, sekitar US$ 60 milyar. Maka,
tidaklah mengherankan jika muncul optimisme baru bahwa herbal medicine akan memiliki peran
dalam mengatasi masalah kesehatan global.
Tren penggunaan herbal medicine
ternyata cukup mengejutkan. Di negara maju seperti Jerman dan Perancis
penjualan produk herbal meningkat
dari sekitar US$ 6 juta pada tahun 1991 menjadi lebih dari US$20 juta di tahun
2006. Di Amerika Serikat, obat-obatan herbal
banyak dijual di toko-toko health food
dengan tingkat penjualan hingga US$ 4 milyar pada tahun 1996 dan perkiraan
meningkat hingga 2 kali lipat pada tahun 2012. Pasar nutraceutical (health food) yang juga
berbasis pada herbal medicine
ternyata juga sangat tinggi di AS dan Eropa, yaitu masing-masing mecapai 80
hingga 250 milyar dollar US.
Bukti tingginya penggunaan herbal
medicine di negara maju diwakili oleh penelitian yang dilakukan oleh Kelly
et al (2005). Dari 10.470 laki-laki dan wanita dengan usia di atas 18 tahun yang
disampling dari data sensus di AS, lebih dari 15,9% subyek menyatakan pernah
menggunakan bahan alam sebagai herbal
medicine. Hampir sebagian besar menggunakan untuk vitamin, penambah energi,
suplemen diet, dan kebugaran. Sedangkan sisanya untuk kondisi-kondisi spesifik,
misalnya gangguan kardiovaskuler, saluran cerna, neurologik, dan pelangsing.
Yang menarik ada sekitar 5% yang mengkonsumsi herbal medicine atas rekomendasi
dokter.
Perkembangan yang menarik akhir-akhir ini adalah timbulnya tren untuk mengkonsumsi
bahan alam sebagai food supplement bagi kaum metropolis, dan tren ini menjadi
salah satu upaya menaikkan gengsi di kalangan metroseksual. Oleh sebab itu
tidak heran apabila banyak bermunculan MLM (multi level marketing) yang
menjajakan food supplement ini secara efektif melalui jalur yang sangat
bergengsi dalam suatu kelompok elitis dan eksklusif. Masuk ke dalam kelompok
ini saja sudah merupakan suatu kebanggaan, apalagi bila mengkonsumsinya.
Tidaklah mengherankan apabila kemudian obat bahan alam memiliki gradasi ekonomi
yang sangat bervariasi, mulai dari yang sangat mudah dan umumnya dikonsumsi
masyarakat kelas bawah dalam bentuk jamu, hingga yang harganya mencapai jutaan
rupiah dan dikonsumsi secara intens dan eksklusif oleh kalangan menengah ke atas.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penerimaan terhadap herbal medicine
sendiri di Indonesia, masih kalah jauh dibanding dengan negara negara tersebut
diatas, yang notabene adalah negara negara yang besar dan maju baik dalam
teknologi, maupun dalam hal kedokteran, dan tidak mempunyai sumber daya alam
sebesar Indonesia.
Menurut data International Trade Center UNCTAD/WTO, Cina merupakan negara
pengekspor tumbuhan obat terbesar, disusul oleh Amerika Serikat dan India.
Indonesia dalam hal ini, menempati posisi ke-19. pada tahun 2003, justru turun
di urutan ke-31. Indonesia justru tertinggal dengan negara tetangga, Singapura,
yang bisa dikatakan tidak mempunyai sumber daya alam. Ironis, tapi fakta
berbicara. Indonesia sebagai negara yang menapat gelar negara kedua terkaya
dalam keaneka ragaman hayatinya, harus berbesar hati melihat ketertinggalannya
dalam pengembangan herbal dan fitofarmaka.
Hal ini karena di Indonesia, produk produk herbal masih belum dapat
diterima seperti layaknya masyarakat di negara negara Eropa, karena di akui
maupun tidak, penelitian dan pengembangan dari produk produk herbal ini di
Indonesia, masih tertinggal dibanding negara negara Eropa. Semestinya, hal
seperti ini mampu memotivasi kita sebagai penduduk Indonesia, untuk lebih memperhatikan
produk herbal dalam negeri, hingga dapat diterima oleh negara negara lain.Sungguh ironis bila dilihat bahwa Indonesia
adalah negara terbesar kedua dalam hal keaneka ragaman hayati, namun kalah
dengan negara yang kecil yang tidak punya apa apa (Singapura).
Bahkan di beberapa journal
menyebutkan, bahwa beberapa negara Eropa telah mengimport beberapa jenis
herbal asli Indonesia dari Indonesia, untuk pengembangan obat obatan di negara
mereka, dan justru oleh merekalah penelitian klinis dan multicenter
dilakukan, dan hal ini akan terjadi dan terjadi lagi.
Masalah yang cukup komplek apabila akan diuraikan satu persatu. Sangat
banyak pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan birokrasi, praktisi,
industri farmasi, bahkan dari pola pikir masyarakatnya sendiri. Mari menjadi
tuan rumah di negeri sendiri. Salam. (dari
berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment