Wednesday, February 1, 2012

KEBUN TEH DI PEGUNUNGAN MENOREH


Bangun pagi, badan agak lelah, namun ada satu kewajiban yang harus aku lakukan hari ini. Bukan masalah pada besaran nominal, tapi lebih pada komitmen yang telah kami  buat. Lumayan jauh jaraknya dari tempat tinggalku. Tak terasa, jalan yang ku lewati semakin sempit, dan kiri kanan jalan telah membentang area persawahan. Padi yang telah menguning, terhampar luas, dengan pandangan yang terbatasi oleh pegunungan pegunungan kecil di sisi tenggara Magelang. Yah, barisan Pegunungan Menoreh, tempat dimana Ki Ageng Sedayu pernah berkelana, katanya.

Jalan yang sempit dan meliuk liuk, menanjak, kanan kiri sawah dan sebatang sungai mengalir dengan air yang gemericik, dan sebelah menyebelah, rumah rumah penduduk yang masih cukup jarang. “Hmmmmmm, alangkah  damainya hidup disini, mungkin.” Aku menarik nafas panjang.

Sejenak berhenti, untuk sekedar merokok dan minum, lantas ku berjalan naik,  melewati jalanan yang semakin sempit, terjal dan mendaki. Beberapa saat perhatianku tersita oleh jalanan, hingga suatu ketika saat jalan telah landai, mataku terbelalak melihat panorama alam di seberang jurang dari  pinggir jalan. 
gunung widosari

Terus ke berjalan menyusuri  jalan satu satunya, mendaki dan terus mendaki. Beberapa kali bertanya, dan benarlah jalan yang ku tempuh.  Hawa sejuk semakin kurasakan, pohon pohon telah mulai rapat, dan hening semakin terasa. Semakin ku lihat kanan dan kiri, walau agak takut juga, namun keadaan sekitar sungguh mempesona.  Kebun teh yang tumbuh di pegunungan pegunungan. Beda dengan kebun teh yang ada di jawa barat, pekalongan, maupun di solo, yang cenderung berwujud hamparan luas.

Dan sejenak perhatianku tersita oleh sebuah wujud. Dua buah batu besar berdiri di atas pegungungan, berjajar pula, dengan pohon pohon bambu  berjajar jajar di sebelahnya. Sejenak ku  berhenti, tengak tengok kiri  kanan, kebetulan ada penduduk yang melintas jalan dengan menuntun kambing etawa.

“Etawa Pak?” tanyaku
“Iya Mas, dari mana?” Bapak itu bail bertanya.
“Liat liat aja kok Pak, kok bagus…” jawabku sambil ku sulut rokok, dan kutawarkan pula kepadanya.
 “Saya gak ngrokok Mas,” jawabnya sambil tangannya memberikan isyarat.
“Lha Bapak dari mana?” tanyaku kemudian.
“Ini Mas, dari mengawinkan kambing saya….” Jawabnya.
“Oh…… Pak, itu ada batu dua berjajar di atas gunung, batu apa ya?” tanyaku langsung aja.
“O, itu WATU PIKUL. Kata orang orang tua, dulu waktu ada hajatan dari sebuah kerajaan, dari kerajaan lain akan “nyumbang”, dan hantaran itu karena saking banyaknya, mereka pikul. Tapi karena kesepakatan dengan “yang mbaurekso” harus sampai  ke lokasi hajatan pagi, sedangkan telah hamper fajar baru sampai sini, dapat dipastikan bahwa  mereka akan gagal, sehingga orang orang yang membawa hantaran itu takut akan akibatnya, makanya mereka tinggalkan hantaran yang berujud gunungsn itu, beserta alat pikulnya, yaitu bambu.  Maka, benarlah yang terjadi,  hantaran itu berubah ujud menjadi batu dua itu, sedangkan bambu alat pikulnya, sekarang tumbuh menjadi pohon bambu yang berjajar jajar di sebelahnya itu.” Dia mengakhiri critanya, dan aku cuma manggut manggut.  
watu pikul
Setelah puas ku nikmati pemandangan dan ku hirup segarnya hawa pegunungan teh, turunlah aku menuju tempat pengolahan hasil perkebunan. “Sekalian jalan,” kataku dalam hati. Ku menuju pabrik tempat pengolahan. Tidak begitu luas, namun ternyata  sebuah perusahaan besar skala internasional, bahan bakunya berasal dari sini. Pabrik ini mengelola lahan teh seluas 40an hektar, dan kakao seluas 10an hektar yang berada di pegunungan itu. Ku beli beberapa produknya, dan ternyata, wuenak tenaaannn!!! Original!

No comments:

Post a Comment