Bangun pagi,
badan agak lelah, namun ada satu kewajiban yang harus aku lakukan hari ini.
Bukan masalah pada besaran nominal, tapi lebih pada komitmen yang telah
kami buat. Lumayan jauh jaraknya dari
tempat tinggalku. Tak terasa,
jalan yang ku lewati semakin sempit, dan kiri kanan jalan telah membentang area
persawahan. Padi yang telah menguning, terhampar luas, dengan pandangan yang
terbatasi oleh pegunungan pegunungan kecil di sisi tenggara Magelang. Yah, barisan
Pegunungan Menoreh, tempat dimana Ki Ageng Sedayu pernah berkelana, katanya.
Jalan yang
sempit dan meliuk liuk, menanjak, kanan kiri sawah dan sebatang sungai mengalir
dengan air yang gemericik, dan sebelah menyebelah, rumah rumah penduduk yang
masih cukup jarang. “Hmmmmmm, alangkah damainya hidup disini, mungkin.” Aku
menarik nafas panjang.
Sejenak
berhenti, untuk sekedar merokok dan minum, lantas ku berjalan naik, melewati jalanan yang semakin sempit, terjal
dan mendaki. Beberapa saat perhatianku tersita oleh jalanan, hingga suatu
ketika saat jalan telah landai, mataku terbelalak melihat panorama alam di seberang
jurang dari pinggir jalan.
gunung widosari |
Terus ke
berjalan menyusuri jalan satu satunya,
mendaki dan terus mendaki. Beberapa kali bertanya, dan benarlah jalan yang ku
tempuh. Hawa sejuk semakin kurasakan,
pohon pohon telah mulai rapat, dan hening semakin terasa. Semakin ku lihat
kanan dan kiri, walau agak takut juga, namun keadaan sekitar sungguh
mempesona. Kebun teh yang tumbuh di
pegunungan pegunungan. Beda dengan kebun teh yang ada di jawa barat,
pekalongan, maupun di solo, yang cenderung berwujud hamparan luas.
Dan sejenak
perhatianku tersita oleh sebuah wujud. Dua buah batu besar berdiri di atas
pegungungan, berjajar pula, dengan pohon pohon bambu berjajar jajar di sebelahnya. Sejenak ku berhenti, tengak tengok kiri kanan, kebetulan ada penduduk yang melintas
jalan dengan menuntun kambing etawa.
“Etawa Pak?” tanyaku
“Iya Mas, dari mana?” Bapak itu bail bertanya.
“Liat liat aja kok Pak, kok bagus…” jawabku sambil
ku sulut rokok, dan kutawarkan pula kepadanya.
“Saya gak
ngrokok Mas,” jawabnya sambil tangannya memberikan isyarat.
“Lha Bapak dari mana?” tanyaku kemudian.
“Ini Mas, dari mengawinkan kambing saya….”
Jawabnya.
“Oh…… Pak, itu ada batu dua berjajar di atas
gunung, batu apa ya?” tanyaku langsung aja.
“O, itu WATU PIKUL. Kata orang orang tua, dulu
waktu ada hajatan dari sebuah kerajaan, dari kerajaan lain akan “nyumbang”, dan
hantaran itu karena saking banyaknya, mereka pikul. Tapi karena kesepakatan
dengan “yang mbaurekso” harus sampai ke
lokasi hajatan pagi, sedangkan telah hamper fajar baru sampai sini, dapat
dipastikan bahwa mereka akan gagal,
sehingga orang orang yang membawa hantaran itu takut akan akibatnya, makanya
mereka tinggalkan hantaran yang berujud gunungsn itu, beserta alat pikulnya,
yaitu bambu. Maka, benarlah yang terjadi, hantaran itu berubah ujud menjadi batu dua
itu, sedangkan bambu alat pikulnya, sekarang tumbuh menjadi pohon bambu yang
berjajar jajar di sebelahnya itu.” Dia mengakhiri critanya, dan aku cuma
manggut manggut.
watu pikul |
Setelah puas
ku nikmati pemandangan dan ku hirup segarnya hawa pegunungan teh, turunlah aku
menuju tempat pengolahan hasil perkebunan. “Sekalian jalan,” kataku dalam hati.
Ku menuju pabrik tempat pengolahan. Tidak begitu luas, namun
ternyata sebuah perusahaan besar skala internasional,
bahan bakunya berasal dari sini. Pabrik ini mengelola lahan teh seluas 40an
hektar, dan kakao seluas 10an hektar yang berada di pegunungan itu. Ku beli beberapa produknya, dan ternyata, wuenak tenaaannn!!! Original!
No comments:
Post a Comment