Sebuah tugas yang cukup menarik, pergi ke
timur, di kota kecil perbatasan wonogiri bagian timur. Sebuah kota berbukit
bukit, dengan deretan pegunungan di kiri kanan jalan. Cukup jauh memang bila di
tempuh dengan sepeda motor dari kotaku. Namun rasa penasaran dan
keingintahuanku tentang kota itu, tak menyurutkan tekadku. Setidaknya, tinggal
semalam di kota itu, cukuplah.
Dari kota solo, ku menuju ke selatan, kea rah
kota wonogiri, untuk selanjutnya menembus jantung kota wonogiri dan terus
melaju ke kota tujuanku. Jalan antar kota yang tidak terlalu lebar, berkelok
kelok dan di kiri kanan menghampar sawah dan ladang, dengan pegunungan yang
berdiri kokoh di ujung sebelah sana.
Pemandangan seperti ini,mengingatkanku akan
kota kota lain yang mempunyai karakter hampir sama, yaitu sebenarnya mereka
adalah kota kota tua, sisa sisa peradaban masa lampau. Dan setelah cukup laam
ku berkendara, hari telah ahmpuir sore, tibalah aku di pintu gerbang kota. Sangat
khas, dan unik. Begitu jelas karakter kota kecil ini, dolihat dari pintu
gerbang, dan nama nama daerah yang ku lalui.
Masuk ke jantung kota, matahari telah condong
ke barat. Sejenak ku berkeliling, untuk melihat lihat suasana dan penginapan. Namun
perjalananku terhenti, oleh sebuah monument yang cukup besar, dan terasa aneh
di mataku. Patung seorang yang gagah perkasa, dengan cemethi yang cukup besar
di tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang kendali sebuah kereta yang
dikendarainya. Dan lebih aneh lagi, kereta tersebut tidak ditarik oleh kuda,
akan tetapi oleh binatang buas, raja hutan, yang sama sekali tak masuk akal
untuk menarik sebuah kereta.
Ku hentikan perjalananku dan sejenak ku
melepas lelah dipatung yang berada di sudut alun alun kota itu. Beberapa lama
aku mengamati patung itu, dan bertanya tanya, siapakah gerangan beliau ini,
hingga yang menarik keretanyapun, adalah sang raja hutan.
Ku sulut rokok dan duduk dibawahnya, sambil
mengorek ngorek otakku untuk mencari jejak tentang sapakah yang di patungkan
itu. Sebuah patung yang cukup besar dan nampaknya merupakan kebanggan pula bagi
kota kecil itu.
Belum juga habis rokokku, dan belum juga
otakku jernih, tiba tiba lewat di depanku seorang bapak bapak. Dari gurat gurat di wajahnya, Nampak dia
adalah orang yang telah banyak makan asam dan garam kehidupan ini. Dan diapun
kemudian duduk tak jauh dari tempatku. Tak piker panjang, aku hampiri dia, dan
bertanya tentang patung yang megah itu.
Diceritakan tentang patung tersebut. Sosok itu
adalah Batara Katong, cikal bakal dari kota Ponorogo, yang pada jaman dulu
merupakan kerajaan kecil bagian dari Majapahit, yaitu kerajaan Wengker.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain
adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang
beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu
Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak
Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan
Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha
di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya
V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi
Istrinya.
Hal
seperti ini rupanya menimbulkan konflik di antara para bangsawan, Sebagaimana
dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam.
Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.
Pujangga ini,
kemudian pergi
meninggalkan Majapahit,
dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung
Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki
Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang
Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu,
kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan
Jetis
Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni
Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi
kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan
kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa
(disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai
Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana
walaupun berwajah buruk.
Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu
untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap
sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama
dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan
Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai
Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan
Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo.
Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi Islamisasi, penguasa Demak
mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan
Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji. Raden Katong akhirnya sampai
di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk
pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat
Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah
penganut Budha, animisme dan dinamisme.
Singkat cerita, terjadilah
pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang
sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.
Kemudian Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama
Niken Gandini.
kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas
perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari
berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok
dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda “Pramana Raga”. Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Adapun
tentang patung kereta yang ditarik oleh singa di sudut alun alun itu, menurut
beliau adalah karena untuk menunjukkan betapa saktinya Batara Katong yang telah
mampu menaklukan sang pujangga, dan membangun wilayah yang penuh dengan hutan liar
dan pegunungan pegunungan. Dan untuk mematahkan pendapat pengikut sang pujangga
bahwa singa tak akan kalah oleh burung merak.
Aku
manggut manggut, dan senja telah menjelang. Aku mohon diri untuk mencari
penginapan. Hmmm….. sebuah kisah yang menarik!
No comments:
Post a Comment