Tuesday, February 21, 2012

SANG RAJA DENGAN TUNGGANGAN SINGA


Sebuah tugas yang cukup menarik, pergi ke timur, di kota kecil perbatasan wonogiri bagian timur. Sebuah kota berbukit bukit, dengan deretan pegunungan di kiri kanan jalan. Cukup jauh memang bila di tempuh dengan sepeda motor dari kotaku. Namun rasa penasaran dan keingintahuanku tentang kota itu, tak menyurutkan tekadku. Setidaknya, tinggal semalam di kota itu, cukuplah.

Dari kota solo, ku menuju ke selatan, kea rah kota wonogiri, untuk selanjutnya menembus jantung kota wonogiri dan terus melaju ke kota tujuanku. Jalan antar kota yang tidak terlalu lebar, berkelok kelok dan di kiri kanan menghampar sawah dan ladang, dengan pegunungan yang berdiri kokoh di ujung sebelah sana.
Pemandangan seperti ini,mengingatkanku akan kota kota lain yang mempunyai karakter hampir sama, yaitu sebenarnya mereka adalah kota kota tua, sisa sisa peradaban masa lampau. Dan setelah cukup laam ku berkendara, hari telah ahmpuir sore, tibalah aku di pintu gerbang kota. Sangat khas, dan unik. Begitu jelas karakter kota kecil ini, dolihat dari pintu gerbang, dan nama nama daerah yang ku lalui.

Masuk ke jantung kota, matahari telah condong ke barat. Sejenak ku berkeliling, untuk melihat lihat suasana dan penginapan. Namun perjalananku terhenti, oleh sebuah monument yang cukup besar, dan terasa aneh di mataku. Patung seorang yang gagah perkasa, dengan cemethi yang cukup besar di tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang kendali sebuah kereta yang dikendarainya. Dan lebih aneh lagi, kereta tersebut tidak ditarik oleh kuda, akan tetapi oleh binatang buas, raja hutan, yang sama sekali tak masuk akal untuk menarik sebuah kereta.

Ku hentikan perjalananku dan sejenak ku melepas lelah dipatung yang berada di sudut alun alun kota itu. Beberapa lama aku mengamati patung itu, dan bertanya tanya, siapakah gerangan beliau ini, hingga yang menarik keretanyapun, adalah sang raja hutan.

Ku sulut rokok dan duduk dibawahnya, sambil mengorek ngorek otakku untuk mencari jejak tentang sapakah yang di patungkan itu. Sebuah patung yang cukup besar dan nampaknya merupakan kebanggan pula bagi kota kecil itu.

Belum juga habis rokokku, dan belum juga otakku jernih, tiba tiba lewat di depanku seorang bapak bapak.  Dari gurat gurat di wajahnya, Nampak dia adalah orang yang telah banyak makan asam dan garam kehidupan ini. Dan diapun kemudian duduk tak jauh dari tempatku. Tak piker panjang, aku hampiri dia, dan bertanya tentang patung yang megah itu.

Diceritakan tentang patung tersebut. Sosok itu adalah Batara Katong, cikal bakal dari kota Ponorogo, yang pada jaman dulu merupakan kerajaan kecil bagian dari Majapahit, yaitu kerajaan Wengker.
Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Hal seperti ini rupanya menimbulkan konflik di antara para bangsawan, Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Pujangga ini, kemudian  pergi meninggalkan Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus kejayaan Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji. Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini.
kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda “Pramana Raga”. Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Adapun tentang patung kereta yang ditarik oleh singa di sudut alun alun itu, menurut beliau adalah karena untuk menunjukkan betapa saktinya Batara Katong yang telah mampu menaklukan sang pujangga, dan membangun wilayah yang penuh dengan hutan liar dan pegunungan pegunungan. Dan untuk mematahkan pendapat pengikut sang pujangga bahwa singa tak akan kalah oleh burung merak.

Aku manggut manggut, dan senja telah menjelang. Aku mohon diri untuk mencari penginapan. Hmmm….. sebuah kisah yang menarik!  


No comments:

Post a Comment