Beberapa waktu lalu saat beberapa
teman dari Geologi ingin mendadakan cek lokasi yang akan dijadikan tambang batu
andesit, Rejo sebagai perwakilan dari media, harus turut serta. Tak ada
bayangan sedikitpun tentang wilayah yang akan kami lakukan pemetaan. Hanya
dari seorang perwakilan disana yang telah menguasai medan, mengatakan bahwa
jalan akan naik turun, terjal, mengitari gunung. Mobil bisa, namun sangat tidak
disarankan.
Kami berangkat pagi dari
Yogyakarta, langsung menuju kantor perwakilan di Wates, Kulon Progo. Untuk
menyingkat, setelah berkoordinasi sebentar, segera kami berangkat. Dari Wates
menuju Waduk Sermo, melintasi jalan dipinggir waduk, terus naik menyusuri jalan
aspal yang makin menyempit, hingga sampailah kami di titik pemberhentian awal,
di desa Menguri, Hargotirto Kokap, Kulon Progo.
Setelah sedikit melepas lelah dan
mendapat gambaran lebih jelas tentang medan yang akan ditempuh, serta rokok
beberapa batang tentunya, kami segera mengatur team yang akan mengitari
sebgaian kecil dari Pegunungan Menoreh tersebut. Agar masing masing dari team mengatahui
bagaimana medan serta materi materi yang akan dicek, diputuskan semua anggita
team ikut. 1 mobil dengan 3 orang, 2 sepeda motor dengan 4 orang termasuk Rejo.
Segera kami berangkat, langsung menuju titik lokasi. Jalanan sangat terjal dan
mendaki, dengan batu batu yang tertata untuk pengerasan. Baru mencapai 2
tanjakan, mobil sudah tak mampu bergerak. Harus putar balik dan menunggu di
Menguri bersama dengan 3 orang isinya. Tinggal Rejo, Mas Rikky, seorang
geologist yang sangat berpengalaman dengan wilayah Kokap, Irsat, adik kelas
dari Mas Rikky, dan Mas Parjo, perwakilan company lokal di Wates.
Setelah mobil berhasil turun
dengan selamat, kami segera berbagi team. Rejo dengan Mas Rikky, dan Irsat
dengan Mas Parjo. 2 sepeda motor dengan 4 orang. Kami segera berangkat. Rejo
sebagai orang lokal Jogja, tentu saja memegang kendali motor. Lha motor Rejo
je..... Mas Rikky Bonceng. Mas Parjo sebagai penunjuk arah dan staf ahli dari
company bersama dengan Irsat.
Benar apa yang dikatakan Mas Parjo.
Jalanan cukup berat, terjal, menanjak, menukik, dengan tikungan yang sangat
sangat tajam. Jalanan hanya dengan cor blok 2 sisi saja. Itupun jika keadaan
lembab ataupun hujan, licinnya minta ampun. Target kita adalah mengitari lahan
seluas 100 hektar yang akan dilakukan pemetaan dan analisa. Beberapa kali kami
berhenti karena ban motor selip, atau jalan yang terlalu menanjak ataupun
menukik, sehingga pembonceng harus turun.
Di beberapa tikungan yang
ditengarai sebagai batas wilayah, kami berhenti dan mengamati bebatuan yang
nampak di pinggir jalan, sekaligus berdiskusi tentang teknis, perijinan, luasan
dlsb. Setelah hampir selesai perjalanan, kami tiba di sebuah pasar tradisional,
dibawah Gunung Ijo, dan Puncak Songgo Langit. Sebuah calon destinasi wisata
yang akan dikembangkan oleh pemerintah setempat.
Setelah puas rehat dan memandandi Gunung Ijo di pasar
kecil itu, kami segera turun, menuju titik kumpul di Menguri. Jalanan seperti
semula, kami ambil jalan memutari gunung, karena jalanan ini relatif lebih baik
daripada saat kami berangkat. Tetap turun dan berkelok kelok. Disitulah Mas Rikky
bercerita tentang adanya tambang emas, bebatuan dengan kualitas sangat baik
berada di bawah kami. Yah.... disekitaran Gunung Ijo dan Gunung Gajah. Mas Rikky
sempat menunjukkan tangannya ke arah Gunung Gajah padRejo agar Rejo mengerti.
Terlintas dalam pikiranku adanya semacam garis imajiner segitiga antara Gunung
Ijo dan Gunung Gajah, dan satu titik
lagi belum ketemu.
Tepat pada saat itu kami sampai
di sebuah tikungan dari jalan menurun kemudian sontak menikung ke kanan dan
langsung naik. Pada saat itu Rejo merasakan getaran yang cukup hebat menimpa
tubuhku. Rejo merasakan telah menabrak sesuatu. Bukan sepeda motorku. Namun
tubuhku. Getaran itu semakin lama semakin kuat seiring dengan menanjakknya
jalan yang ku tempuh. Mas Parjo dan Irsat sudah agak jauh di depan. Rejo
biarkan dan arasakan getaran itu samapi dimana dia akan hilang sendiri. Setelah
beberapa kami memasuki tikungan tajam dan menurun lagi, disitu getaran sudah
mulai hilang. Jalanan agak rata, sehingga tidak perlu konsentrasi penuh. Rejo
membuka pembicaraan dengan Mas Rikky yang duduk di belakangku.
“Mas, krasa gak pas ditikungan
tanjakan tadi?”
“Krasa apa Mas?” Mas Rikky balik
bertanya.
“Ada semacam kekuatan menabrak
kita tadi. Getaranny cukup kuat je Mas....” jawabku agak merinding. Mas Rikky
tertawa sambil menepuk pundakku.
“Sampean bisa krasa to Mas?” dia
kembali bertanya.
“Iya je....”jawabku pendek.
“Hahahaha..... bener Mas. Sama. Saya tadi juga kerasa. Agak besar ya.....?” jawab Mas Rikky sambil balik bertanya.
“Lumayan Mas..... ada apa
sebenarnya Mas?” Rejo penasaran.
“Sampeyan cocok jadi orang geologi Mas....
Orang orang geologi butuh orang orang seperti Sampeyan.” Katanya. Mas Rikky,
sebagai seorang geologist yang dahulu mendapatkan tugas penelitiannya di lokasi
itu mulai bercerita.
Ini sebuah pengalaman. Boleh
dibilang mistis atau apa terserah. Namun menurut pengalaman yang dialami,
tempat tempat yang memancarkan gelombang semacam yang kami alami tadi, itu
merupakan tanda yang patut dijadikan dugaan awal adanya kandungan bebatuan yang
berkwalitas baik dibawahnya. Dan menurut pengalaman juga, pernah disuatu tempat
kemudian dilakukan pengecekan dan pengeboran, ternyata hal seperti itu adalah
benar adanya.
Bahkan pernah suatu ketika,
karena begitu kuatnya aura atau gelombang yang memancar, dia sempat pingsan
saat “berbenturan” dengan gelombang tersebut.
“Woh....semaput?” tanya Rejo heran.
“Bener Mas. Saya sempat pingsan
watu itu. Di tambang emas di daerah sana (dia menyebut sebuah tempat di luar
Jawa)
“Di kawasan ini Mas Rejo,
terkenal dengan bebatuan dengan kwalitas baik. Ya di seputaran dua gunung itu.”
“Ada makam atau petilasan atau
candi atau peninggalan sejarah gak Mas di sekitar sini?” Rejo kembali bertanya.
“Katanya ada. Tapi saya belum tahu
apa dan dimana letaknya.” Jawabnya.
Dugaan dugaanku semakin kuat
menghubung-hubungkan satu kejadian dengan kejadian lainnya. Kemudian toba di
sebuah jalanan menurun, banyak pohon dan teduh, dan di kiri jalan yang kami
lalui terlihat sebuah bangunan kecil di bawah pohon.
“Mungkin itu Mas Rejo,
peninggalannya....” kata Mas Rikky. Rejo tak sempat menoleh dan memperhatikan
karena jalan didepanku menanjak dan menikung.
“suatu saat tak datengi!”
batinku....
No comments:
Post a Comment