Penulis jalan jalan bersama keluarga saat lebaran 2018, sengaja ingin melihat dari dekat saksi sejarah awal mula terbentuknya Surakarta dan Yogyakarta. Inilah saksi bisunya.
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC,
pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok
Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian
ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan
menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan
untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang
ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de
jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama
Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa
Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa
Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi
menjadi dua. Wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah
Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, yaitu Sunan
Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Adapun wilayah di sebelah
barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang
sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di
Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan
siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
Untuk Lebih lengkap, silahkan klik : Perjanjian Giyanti
No comments:
Post a Comment