Agak terkejut juga sebenarnya mengetahui adanya sebuah pura yang begitu megah di Karanganyar, tepatnya di Kecamatan Karangpandan, tepat di kiri jalan Solo - Tawangmangu, berdekatakn dengan Patung Semar.
Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata
spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan
mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di
nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti
Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk
dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan
Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira
35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan.
Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu
membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk.
Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan
ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau
candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak
sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini
terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura
Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya
waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain,
penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan
sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di
bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII. Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta
dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup
beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang yang
terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan
Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang
adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di
kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang
menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang
patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang
dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki
keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan
kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten
Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura
Pasek).
Piodalan di pura Pemacekan ini biasanya diselenggarakan
setiap tujuh bulan saat bulan purnamasidi atau bertepatan dengan pengetan weton
dari Ki Ageng Pasek yang mana Upacara Piodalan ini selain di rayakan oleh para
pengempon Pura umat Hindu di karanganyar serta daerah Solo dan sekitarnya yang
khususnya bermarga Pasek juga dihadiri oleh ratusan warga Hindu Bali dari marga
Pasek juga. Salah seorang Pengempon Pura
Pasek ini adalah juga warga dari Desa Kemoning Klungkung yang berdomisili di
Solo, yaitu bapak Nyoman Nasa, dalam menjalani masa-masa pension beliau, selalu
mengabdikan hari-harinya merawat Pura Pasek ini.
Menghubungkan cerita Pura Pasek yang ada di tanah Jawi ini
dengan issue-issue yang berkembang belakangan ini di daratan bali, dimana
seiring dengan berjalannya waktu dan semakin tingginya tingkat pendidikan
masyarakat di Bali, akhirnya menumbuhkan keingintahuan untuk menelusuri lebih
jauh tentang asal-usul nenek moyang atau
leluhur keluarga mereka, yang di mulai tidak hanya ketika leluhur mereka
berdomisili di balidwipa (pulau bali), melainkan di telusuri lebih jauh ketika
nenek moyang mereka masih berdomisili di jawadwipa (pulau jawa) ketika kerajaan
majapahit masih mengalami masa kejayaannya. penelitian oleh setiap individu
mengenai silsilah keluarga / kelompok ini kemudian di tuliskan kedalam suatu
babad, sehingga akhirnya di Bali saat ini dikenal berbagai macam Babad. seperti di tuliskan di website babadbali.com
(http://www.babadbali.com/babad/babadbali.htm ) yaitu:
Lebih lanjut, menelusuri silsilah keluarga sedari nenek
moyang baik dengan pergi ke tanah jawi atau melalui membaca babad yang di tulis
orang lain, di bali saat ini sepertinya sedang menjadi trend. Salahkah kegiatan
mereka ini, tentu tidak. kegiatan untuk mengetahui silsilah keluarga leluhur
mereka, disamping akan menambah wawasan dari setiap pembacanya, membaca babad
ini juga di khawatirkan sebagian orang akan memisahkan masyarakat bali menjadi
kelompok-kelompok (soroh / clan) karena menemukan silsilah dirinya dalam babad. kekhawatiran yang berlebihan ini mungkin
masih dianggap wajar, hal ini untuk menghindarkan terulangnya fenomena
masyarakat bali dari penafsiran yang berbeda-beda akan suatu konsep kehidupan
bermasyarakat. sebagai contoh penafsiran akan keberadaan sistem wangsa di dalam
kehidupan sosial kemasyarakat umat Hindu di Bali. dimana kalau menurut Manawa
Dharmasastra, sistem wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan
stratifikasi sosial paradigma tinggi-rendah (tidak setara antara wangsa yang
satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu
Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra, melainkan sistem wangsa itu di buat
untuk menentukan keakraban atau kerukunan famili, dan bukan untuk menentukan
kasta atau varna seseorang. kita harapkan semoga masyarakat bali tidak
terjerumus akan pemahaman yang sempit akan Babad ini. Kembali ke topik Babad,
untuk apa sesungguhnya fungsi keberadaan Babad itu atau untuk apa Babad itu di
tulis? pada prinsipnya Babad itu adalah
sejarah. Babad atau sejarah di tulis untuk melihat perjalanan sebuah peradaban.
Dari penulisan ini kita menjadi tahu, siapa tokoh yang memainkan peran dalam
peradaban itu.
Mengambil contoh dari salah satu Babad diatas yaitu Babad
Pasek, umat Hindu dari seluruh pelosok daratan Bali yang bermarga Pasek, belakangan
ini tidak hanya melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Dasar
Gelgel Klungkung yang di yakininya sebagai induknya Pura Pasek di Bali ,
melainkan juga melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Patilesan
(peristirahatan) Ki Ageng Pemacekan yang oleh masyarakat Bali di yakininya
sebagai induknya Pura Pasek – pura Pasek yang ada di Bali, dan belakangan ini selalu menunjukkan
statistik yang kian terus meningkat bila di lihat dari jumlah kendaraan bis
rombongan dari bali.
Akhir kata, seandainya ada pembaca artikel ini yang bermarga
Pasek yang tertarik untuk melakukan wisata spiritual Tirta Yatra ke Pura Pasek
yang ada di Jawa ini, berikut alamat detailnya: Pura Kyayi I Gusti Ageng
Pemacekan, desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa
Tengah.
Sumber : Pura Pasek
No comments:
Post a Comment