Sunday, June 24, 2018

Situs Ki Ageng Pamacekan, Karanganyar

Agak terkejut juga sebenarnya mengetahui adanya sebuah pura yang begitu megah di Karanganyar, tepatnya di Kecamatan Karangpandan, tepat di kiri jalan Solo - Tawangmangu, berdekatakn dengan Patung Semar. 
Bagi yang memiliki minat dan ketertarikan berwisata spiritual Tirta Yatra, yaitu melakukan perjalanan napak tilas persembahyangan mengunjungi pura-pura, baik yang berada di daratan pulau bali ataupun di nusantara, pastilah mengenal Pura Patilesan (peristirahatan) Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, yang lebih di kenal sebagai Pura Pasek dan merupakan induk dari Pura Pasek yang ada di daratan Bali. Pura ini terletak di desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Indonesia. Kira-kira 35 km sebelah timur kota Solo, satu jam perjalanan ditempuh dengan kendaraan. Letaknya yang tidak jauh dari obyek wisata Tawangmangu, di kaki gunung Lawu membuat pura Pemacekan yang dikelilingi alam nan hijau menjadi semakin sejuk.
Menengok kembali sejarah jaman dulu, pada awalnya bangunan ini memang merupakan tempat peribadatan umat Hindu yang berupa punden atau candi atau pura. Sebagaimana masyarakat Jawa pada zaman dulu memang banyak sekali penganut Hindu, tak terkecuali di wilayah Karangpandan ini. Hal ini terbukti ditemukannya bangunan Hindu di daerah sekitar tak jauh dari pura Pemacekan semisal Candi Sukuh, Candi Cetho, dll. Namun seiring berjalannya waktu, dengan terjadinya akulturasi kebudayaan antara penganut agama lain, penganut Hindu di sekitar pura menjadi semakin sedikit, meski dalam catatan sejarah, bangunan yang memiliki dominasi warna kuning dan merah ini pernah di bangun menjadi lebih megah dan mewah pada masa Pakoe Boewono XII.  Keterlibatan raja dari Keraton Surakarta dalam pembangunan kembali Pura Pemacekan (Pura Pasek) ini adalah cukup beralasan, karena bila di lihat dari silsilah vertikal raja-raja yang yang terpampang di dinding bangunan Pura Pemacekan itu, di mulai dari kerajaan Singosari dimasa pemerintahan Ken Arok hingga raja Surakarta yang sekarang adalah masih memiliki ikatan darah persaudaraan dengan Ki Ageng Pasek atau di kenal dengan nama Pangeran Arya Kusuma ini karena merupakan salah seorang menantu Pangeran Brawijaya V (raja terakhir dari kerajaan Majapahit), yang patilesannya terdapat di dalam bangunan Pura Pasek ini. Ki Ageng Pasek yang dikenal sebagai Arya Kusuma juga adalah seorang senopati kerajaan yang memiliki keahlian khusus, penunggang kuda saat berperang. Hingga meninggalnya dan kemudian dimakamkan di desa Pasek, Kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, yang saat ini tepat di petilesannya didirikan Pura Pemacekan (Pura Pasek).
Piodalan di pura Pemacekan ini biasanya diselenggarakan setiap tujuh bulan saat bulan purnamasidi atau bertepatan dengan pengetan weton dari Ki Ageng Pasek yang mana Upacara Piodalan ini selain di rayakan oleh para pengempon Pura umat Hindu di karanganyar serta daerah Solo dan sekitarnya yang khususnya bermarga Pasek juga dihadiri oleh ratusan warga Hindu Bali dari marga Pasek juga.  Salah seorang Pengempon Pura Pasek ini adalah juga warga dari Desa Kemoning Klungkung yang berdomisili di Solo, yaitu bapak Nyoman Nasa, dalam menjalani masa-masa pension beliau, selalu mengabdikan hari-harinya merawat Pura Pasek ini.
Menghubungkan cerita Pura Pasek yang ada di tanah Jawi ini dengan issue-issue yang berkembang belakangan ini di daratan bali, dimana seiring dengan berjalannya waktu dan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat di Bali, akhirnya menumbuhkan keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh tentang asal-usul  nenek moyang atau leluhur keluarga mereka, yang di mulai tidak hanya ketika leluhur mereka berdomisili di balidwipa (pulau bali), melainkan di telusuri lebih jauh ketika nenek moyang mereka masih berdomisili di jawadwipa (pulau jawa) ketika kerajaan majapahit masih mengalami masa kejayaannya. penelitian oleh setiap individu mengenai silsilah keluarga / kelompok ini kemudian di tuliskan kedalam suatu babad, sehingga akhirnya di Bali saat ini dikenal berbagai macam Babad.  seperti di tuliskan di website babadbali.com (http://www.babadbali.com/babad/babadbali.htm ) yaitu:
Lebih lanjut, menelusuri silsilah keluarga sedari nenek moyang baik dengan pergi ke tanah jawi atau melalui membaca babad yang di tulis orang lain, di bali saat ini sepertinya sedang menjadi trend. Salahkah kegiatan mereka ini, tentu tidak. kegiatan untuk mengetahui silsilah keluarga leluhur mereka, disamping akan menambah wawasan dari setiap pembacanya, membaca babad ini juga di khawatirkan sebagian orang akan memisahkan masyarakat bali menjadi kelompok-kelompok (soroh / clan) karena menemukan silsilah dirinya dalam babad.  kekhawatiran yang berlebihan ini mungkin masih dianggap wajar, hal ini untuk menghindarkan terulangnya fenomena masyarakat bali dari penafsiran yang berbeda-beda akan suatu konsep kehidupan bermasyarakat. sebagai contoh penafsiran akan keberadaan sistem wangsa di dalam kehidupan sosial kemasyarakat umat Hindu di Bali. dimana kalau menurut Manawa Dharmasastra, sistem wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial paradigma tinggi-rendah (tidak setara antara wangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra, melainkan sistem wangsa itu di buat untuk menentukan keakraban atau kerukunan famili, dan bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang. kita harapkan semoga masyarakat bali tidak terjerumus akan pemahaman yang sempit akan Babad ini. Kembali ke topik Babad, untuk apa sesungguhnya fungsi keberadaan Babad itu atau untuk apa Babad itu di tulis?  pada prinsipnya Babad itu adalah sejarah. Babad atau sejarah di tulis untuk melihat perjalanan sebuah peradaban. Dari penulisan ini kita menjadi tahu, siapa tokoh yang memainkan peran dalam peradaban itu.
Mengambil contoh dari salah satu Babad diatas yaitu Babad Pasek, umat Hindu dari seluruh pelosok daratan Bali yang bermarga Pasek, belakangan ini tidak hanya melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Dasar Gelgel Klungkung yang di yakininya sebagai induknya Pura Pasek di Bali , melainkan juga melakukan Tirta Yatra persembahyangan bersama ke Pura Patilesan (peristirahatan) Ki Ageng Pemacekan yang oleh masyarakat Bali di yakininya sebagai induknya Pura Pasek – pura Pasek yang ada di Bali,  dan belakangan ini selalu menunjukkan statistik yang kian terus meningkat bila di lihat dari jumlah kendaraan bis rombongan dari bali.

Akhir kata, seandainya ada pembaca artikel ini yang bermarga Pasek yang tertarik untuk melakukan wisata spiritual Tirta Yatra ke Pura Pasek yang ada di Jawa ini, berikut alamat detailnya: Pura Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan, desa Pasekan Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.


Sumber : Pura Pasek







No comments:

Post a Comment