Modinan, Banyuraden,
Gamping. Ki Demang Cokrodikromo adalah seorang demang yang gentur tapane (besar
laku prihatinnya), memiliki kharisma yang tinggi, disegani, dan dihormati oleh
keluarga dan masyarakat sekitar. Salah satu bentuk laku prihatin yang
dijalaninya adalah mandi hanya setiap satu tahun sekali yaitu pada tanggal 7
Sura tengah malam.
Sisa air mandi Ki
Demang tersebut diambil oleh anak cucu dan sanak saudara untuk ngalap berkah.
Sampai sekarang, tradisi ini masih tetap dilestarikan dan banyak warga
masyarakat yang ikut ngalap berkah dengan mengambil air dari sumber air yang
sama dengan yang dahulu dipakai mandi oleh Ki Demang Cokrodikromo.
Siapakah Ki Demang ini
sebenarnya?
Ki Demang adalah
seorang anak dari bekel Cokrojoyo. Nama kecil dari Ki Demang adalah Asrah dan
dikenal sangat nakal. Oleh ayahnya, Asrah dititipkan pada Demang Dowangan yang
memberinya tugas angon bebek dan mencari satu ikat kayu bakar setiap harinya.
Pada usia akhil baligh, Asrah bertapa di rumah penatu selama sebulan. Ketika
bertapanya mencapai sebulan, banyak orang mengira Asrah sudah meninggal di
tempat pertapaan. Kemudian mulut Asrah ditetesi dengan cairan kanji, dan cairan
kanji itu oleh Asrah diminum, dan ternyata Asrah memang masih hidup.
Sementara itu dalam
pertapaanya Asrah bermimpi bertemu dengan dua orang yang berpakaian seperti
haji dan orang tersebut memberi kitab
kecil. Setelah selesai bertapanya, Asrah mencari kitab tersebut dan
ditemukannya di sungai Bedog. Asrah menjadi orang yang sakti, dapat menyeberang
sungai bedog yang sedang banjir, dan bahkan mampu menghalau para penjahat yang
sering merusak perkebunan milik Belanda. Awalnya dari sayembara di daerah
Dowangan untuk memberantas kejahatan di sekitar Kali Bedog dan Kali Bayem dan
pemenangnya akan dijadikan mandor perkebunan. Asrah merasa tertantang walaupun
banyak orang yang meragukan. Karena berhasil, Asrah diangkatmenjadi mandor
perkebunan.
Pada suatu kemarau
panjang, banyak perkebunan tebu di daerah Demakijo menjadi kering. Atas
permintaan pemilik pabrik gula dalam sayembara, Asrah menyelenggarakan
pertunjukan wayang kulit di tengah lapangandan memohon kepada Yang Maha Agung
untuk memberikan air bagi para petani yang kelaparan dan untuk memenangkan
sayembara. Pada saat bagian “gara-gara”, terjadi hujan deras selama tiga hari
tiga malam sehingga daerah yang semula kering menjadi berkelimpahan air, dan
tanaman tebu menjadi tumbuh lagi. Akhirnya Asrah diangkat menjadi demang pabrik
yang tugasnya mengawasi perkebunan milik pabrik gula di daerah Demakijo.
Setelah menjadi demang,
Asrah berganti nama menjadi Cokrodikromo yang dikenal dengan sebutan Ki Demang Cokrodikromo.
Semua keberhasilan Ki Demang tersebut berkat laku prihatin yaitu tidak makan
garam, dan setiap sore laku tanpa bisu mengelilingi rumahnya. Selain itu, Ki Demang
juga ngaloki dengan mandi setahun sekali, yaitu setiap malam menjelang tanggal
8 Sura bertempat di sumur di belakang rumahnya.
Ki Demang dikenal
sebagai orang yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain, dan selalu
memberi hidangan makan bagi tamu yang dating ke rumahnya. Kebiasaan memberi
hidangan ini, kemudian dilestarikan oleh anak cucu yang kemudian dikenal dengan
tradisi pembagian kendhi ijo. Selain itu, Ki Demang juga berpesan kepada anak
cucunya, “luwih becik menehi tinimbang diwenehi”, “tangan kuwi becik mengkurep
tinimbang mlumah”, “sapa sing muwuhi bakal ditambah, lan sapa sing ngurangi
bakal disuda”, untuk memberikan rasa perlindungan kepada masyarakat di
sekitarnya.
Yang menarik di lokasi
ini adalah adanya sebuah makam dengan bangunan sederhana di sebelah barat
sumur, dengan beberapa buah batu prasejarah, yaitu dua buah yoni berukuran
sedang, watu lumpang, dan beberapa umpak. Tidak diketahui dengan pasti dari
mana batu batu bersejarah tersebut berada ditempat itu. Karena lokasi dan
penempatannya cukup baik, maka batu batu tersebut cukup terawat dan dalam
kondisi baik Namun lingga, sebagai batu pasangan dari kedua yoni tersebut tidak
ditemukan di tempat tersebut.
sumber cerita : fajriana
No comments:
Post a Comment