Beberapa tahun yang lalu, di sebuah wilayah yang termasuk
dalam wilayah Desa Cibuk, Godean, Sleman, ditemukan secara tidak sengaja oleh
seseorang yang sedang menggali tanah sawah sebagai bahan baku pembuatan batu
bata.
Sebuah lubang menganga seukuran sumur, dengan kedalaman yang
tidak disebutkan, karena telah tergenang air yang cukup dangkal. Yang menarik dari penemuan sumur ini adalah
ditemukannya batu bata berukuran cukup besar dengan bentuk bentuk tertentu yang
beraturan menyerupai bentuk bangunan melingkar, dengan 3 buah gerabah semacam
tempayan yang berukuran kecil, sedang dan besar secara berurutan yang ditemukan
dalam sumur tersebut.
Ditengarai bahwa bentuk batu batu bata, tempayan serta arca
yang ditemukan di tempat itu, merupakan sebuah sumur atau sumber air pada jaman
dahulu kala. Orang kemudian menyebutnya sebagai “sumur purba”. Tak banyak orang
yang tau tentang lokasi dan cerita tentan sumur tersebut, yang dalam
perkembangannya kemudian diyakini bahwa air sumur tersebut mampu sebagi sarana
untuk penyembuhan penyakit.
Kini, lokasi tersebut, saat aku berusaha melacak karena
kepenasaranku, sangat sulit. Harus menggunakan istilah istilah tertentu yang
dapat menggiring ingatan sesorang, orang orang tua tentu saja, untuk dapat, dan
mau menunjukkan tempat sumur purba itu. Setelah bertanya kesekian kalinya,
didapat petunjuk bahwa lokasi sumur purba berada di tengah sawah. Jauh dari
pemukiman, dan hanya dapat dilewati dengan berjalan kaki, melewati pematang
sawah yang lumayan panjang.
Tiba di lokasi persawahan yang ditunjukkan, masih juga harus
bertanya ke orang yang di sekitar tempat itu. Hmmmm.... dan mereka pun tak
tahu. Tiba tiba ku temui seorang yang sudah lumayan tua, dengan sepeda kayuh
menuju sawah dan berhenti di tempat ku bertanya. Entah angin apa yang bertiup,
gayung bersambut. Beliau sangat mengetahui lokasi sumur purba, dan merupakan
salah satu pelaku yang pernah mengambil air untuk pengobatan. Mendengar
gambaran tentang lokasi sumur, nyaliku ciut. Namun keinginannku sangat besar.
Dengan muka memelas, mohon ijin untuk ditemani. Di luar dugaanku. Dengan
antusias beliau bersedia. Alhamdulillah......
Perjalanan menuju sumur purba, melewati pematang sawah,
menuju sebuah sungai dengan pohon pohon mulai agak rapat. Kadang harus menunduk
dan berputar. Perasaanku mulai tak enak. Benar! Seekor ular berukuran sedang
tiba tiba terbang melewati kami berdua, dan menjatuhkan dirinya di sungai dan
segera lari bersembunyi. Aku hanya diam dan terus mengikuti beliau. Jalan
semakin sulit. Tiba di sungai dengan pohon bambu yang rapat, aku lega. Namun
sejenak kemudian harus kecewa. Karena sumur dimaksud berada di seberang sungai.
Ada sebatang pohon rebah untuk menyeberang. Namun saat kami injak, pohon itu
patah. Harus berjalan lagi lebih jauh untuk menyeberang. Tibalah di jembatan
kecil dari bambu, itupun harus dilewati satu persatu agar tidak roboh. Sesekali
beliau menunjuk arah tempat sumur berada. Yang nampak olehku hanya semak
belukar tinggi setengah badan, dan rapatnya pohon bambu berduri, serta beberapa
pohon salak. Tak ada jejak kaki satu pun di sana.
Memasuki lokasi sumur, Beliau mengambil sebuah ranting pohon
yang agak besar. Disibakkannya semak belukar, ranting ranting pohon dan batang
batang bambu yang penuh dengan duri. Sekali lagi aku harus mengeluh. Setelah
tak ada jalan lain, kami harus turun dari pematang dan melewati semak yang
tergenang air di sana sini. Beberapa bagian tanah sangat gembur dan memunkinkan
kami terjerembab. Rawa! Beberapa saat berjalan tibalah di sebuah gerumbulan
semak. Beliau berhenti di depannya dan menunjukkan inilah sumur purba. Disibakannya
gerumbulan rumput dan ilalaang yang menutupinya. Suasana hening. Terasa olehku
beberapa pasang mata mengamati kami berdua. Dan itu bukanlah mata manusia. Aku bisa
merasakan kehadiran mereka. Hanya salam keselamatan bagi semua yang dapat aku
ucapkan pada mereka semua.
Setelah gerumbulan tersebut tersibak oleh tongkat kayu
Beliau, nampak bibir sumur yang tidak terlalu besar, namun juga tidak kecil. Airnya
dangkal, rata dengan tanah yang kami pijak.
Terlihat batu bata tersusun melingkar di dalamnya. Airnya jernih. Beberapa
saat kami mengamati sumur purba itu, sambil mengyakinkan hati saya bahwa
semuanya telah baik baik saja. Setelah kami yakin, kami segera kembali
meninggalkan sumur tersebut, dengan gerumbulan yang telah terbuka, agar
seseorang lain akan lebih mudah menemukannya. Sungguh lokasi yang sangat sulit,
dan mencekam.
Kami berjalan menuju tempat kami bertemu tadi di jalanan
tengah sawah. Tempat sepeda motorku aku taruh. Disitulah Beliau baru mau
bercerita, setelah aku ceritakan apa yang aku alami dan rasakan selama
pencarian dan di lokasi sumur purba tersebut.
Beliaupun kemudian menceritakan tentang khasiat air di sumur
purba tersebut, riwayat penemuan, serta “siapa” yang yang turut menjaga sumur
tersebut. Setidaknya Beliau menyebutkan dengan istilah “nagasasra” untuk
menggambarkan “sesuatu” dan lain-lainnya yang bermukim dan menjaga tempat itu.
“Leres Mas.......meniko wau omahe Nagasasra........” Beliau
paham maksud pertanyaanku.
“...........” Aku terdiam. Tercenung. Dan bersyukur dalam
hati bahwa kami tadi tak mengalami sesuatu apapun disana.
“Pokoke asal jelas tembunge, uluk salame, andum keslametane
kanggo kabeh, Insya Allah raono opo opo Mas. Ulo ulo mabur mau rak yo ming
manggakke, lan menehi lapuran yen iki ono pawongan sing teko kanti niat
apik......” seperti itu kurang lebihnya Beliau mengakhiri ceritanya.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment